BREAKING

Minggu, 21 Juli 2013

Sangomang & Raden Tunjung Membuat Guci

Adalah seorang raja, memerintah sebuah kerajaan bernama kerajaan Darat. Raja Darat mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Orang menamakan putri itu, Tuan Putri. Beberapa pemuda ternama telah mencoba untuk meminang. Namun tidak satupun yang diterima. 

Berita kecantikan tuan putri, rupanya tersebar sampai kahyangan. Pemuda dari kahyangan turun ke bumi, mencoba mengajukan pinangannya. Namanya, Manyamei Kajangga Hatuen Bulan. Manyamei Kajangga Hatuen Bulan, seorang 
pemuda tampan dan gagah. Tidak seorangpun dari sekian banyak pemuda sebelumnya yang menyamainya. Tanpa banyak alasan, pinangan itu diterima raja 

Darat. Dan pernikahan dilangsungkan, dengan suasana ramai sekali. Selang beberapa bulan setelah perkawinan. Manyamei ingin kembali ke tempat asalnya. Alasannya, ingin menjenguk keluarganya di sana. Ia berjanji tidak lama. Sebelum istrinya melahirkan, ia pasti sudah kembali. Waktu itu, Tuan Putri sedang hamil enam bulan. Berat hati Tuan Putri melepaskan suaminya. Namun setelah berulang kali Manyamei membujuk, akhirnya Tuan Putri setuju. 

Sebelum berangkat, Manyamei berpesan kepada istrinya. Yakni agar Tuan Putri, tidak naik ke atas loteng kamar tempat tidur mereka. Sekiranya Tuan Putri masih ingin hidup bersamanya, tolong agar pesan itu di patuhi. Kalau tidak, jangan menyalahkan ia. Kemungkinan akan hidup bersama lagi, sedikit sekali. Demikianlah pesan itu disanggupi istrinya. Pagi-pagi sehabis makan, Manyamei Kajangga Hatuen Bulan bersiap untuk berangkat. Istrinya yang masih curiga asal usul suaminya, ikut mengantar kepergian suaminya. Begitu Manyamei tiba di halaman istana, tiba-tiba ia lenyap begitu saja. Istrinya beserta orang lain yang menyaksikan kejadian tadi merasa heran. Barulah Tuan Putri yakin bahwa suaminya adalah pemuda asal bulan. Jadi sesuai dengan namanya Manyamei Kajangga Hatuen Bulan. 

Sepeninggal Manyamei suaminya, Tuan Putri sangat merasa kesepian. Setiap hari ia merindukan kedatangan Manyamei. Hitung-hitung saat melahirkan, tinggal beberapa bulan lagi. Dan ia sangat menyesal apabila waktu melahirkan, Manyamei tidak hadir. Dari hari ke hari perasaan rindu kepada suaminya semakin menjadi-jadi. Tanpa berpikir panjang, disuruhnya seorang pengasuhnya menyediakan tangga. Tuan Putri pun naik ke atas loteng. Hampir saja ia berteriak. Dilihatnya Manyamei ada di situ Cuma bentuknya, tidak seperti Manyamei yang sesungguhnya. Tubuh, mata, mulut, kaki, dan tangannya besar sekali. Bentuknyapun buruk sekali, dan sangat mengerikan. Cepat-cepat Tuan Putri turun. Apa yang dilihatnya tidak diceritakannya kepada siapapun. Dan bagi Tuan 

Putri adalah merupakan tanda tanya. ”Mungkinkah itu Manyamei sesungguhnya? Kalau memang benar, mengapa dia ada di sana? Padahal ia sendiri menyatakan bahwa ia pulang ke tempat asalnya?” Begitulah pertanyaan tadi bertubi-tubi di benaknya. Tetapi tidak satupun jawaban yang pasti. Dan saat bersalinpun tiba. Bayi yang lahir itu sangat aneh. Tubuhnya hanya sebelah. Dan laki-laki lagi. Tangannya sebelah, kakiknya sebelah, mata, hidung, mulut, dan seluruh tubuhnya semua sebelah. Mereka menamakan SILAI. Artinya separuh atau sebelah. 

Walaupun demikian, bayi tersebut tumbuh dengan subur sekali. Baru satu bulan saja, tubuhnya seperti bayi usia enam bulan. Pada usia enam bulan, Silai sudah pintar berbicara. Bahkan sudah pandai berjalan. Jalannya meloncat-loncat. 

Walaupun dengan tubuh hanya separuh, ia cukup tangkas. Ia senang bermain-main dengan anak yang besar-besar. Pada waktu berusia enam tahun, Silai sudah seperti remaja. Bagi penduduk seluruh kerajaan Darat. Silai menjadi buah bibir orang. Setiap yang melihat dia, pasti heran dan kagum. Suatu hari, Silai pulang dari bermain, sambil menangis. Dengan suara lemah lembut Tuan Putri ibunya menanyakan halnya. Dikiranya anak-anak yang lain telah memukul Silai. Menurut Silai, ia menangis karena merasa malu.teman-teman mengatakan bahwa ia tidak mempunyai ayah. Menurut mereka, ayahnya berasal dari bulan. Dan sekarang telah kembali ke tempat asalnya. 

Mendengar keterangan anaknya, dengan jujur Tuan Putri mengakuinya. Dan secara rinci, ia mengisahkan kejadian sebenarnya. Sampai ayah Silai kembali ke tempat asalnya. Dan sampai sekarang masih belum kembali. Suatu hari, Silai meramu beberapa potong bambu dan kayu gabus. Dari bambu dan kayu gabus itu, dibuatnya anak sumpitan banyak sekali. Kawan-kawannya membantu Silai membuatnya. Mereka bertanya-tanya hendak diapakan anak sumpitan sebanyak itu. Silai sendiri, tidak mau menceritakannya. Setelah lebih dari sepuluh hari, jumlah anak sumpitan tadi tidak terhitung lagi. Tumpukan anak sumpitan itu, diletakkan di halaman istana. Ibu dan kakeknya raja Darat, tidak memperdulikan pekerjaan Silai. Mereka enggan bertanya. Sebab kalau ditanyapun, Silai tidak mau menjelaskannya. Sehingga mereka tidak ubahnya seperti penonton saja. 

Setelah diperkirakan cukup, Silai dan teman-temannya berhenti. Pagi berikutnya, Silai mengundang seluruh temannya untuk menyaksikan akhir dari pekerjaan mereka. Silai turun dengan membawa sebuah sumpitan. Dan mulailah ia mengisi anak sumpitan ke dalam sumpitan tadi. Satu-satu anak sumpitan dibidik ke atas. Setelah satu lepas, secepatnya dimasukkan satu lagi. Sehingga anak sumpitan seperti bersambung antara yang satu dengan yang lainnya. Tangannya sungguh cekatan sekali. Hampir saja tidak kelihatan dia memasukkan anak sumpitannya. 

Seluruh penduduk tercengang-cengang melihat pekerjaan Silai. Mereka tidak dapat menduga, akhir pekerjaan itu. Terakhir, tinggal satu anak sumpitan lagi. Sekarang anak sumpitan yang sisa satu itu, tidak dimasukkannya. Secepat kilat tangannya menempelkan anak sumpitan itu ke ujung yang terakhir. Dan bersamaan dengan itu pula, tubuh Silai terangkat. Seperti memanjat pohon tangannya menangkap anak sumpitan tadi satu persatu. Tubuhnya semakin tinggi juga. Dan tidak lama kemudian Silai pun menghilang tidak kelihatan. Awan yang berarak di langit menutup pandangan orang-orang yang menonton. Masing-masing pulang dengan perasaan heran bercampur takjub. Semua bertanya-tanya dalam hati, seraya memperkirakan apa kesudahannya. Tersebutlah Silai sendiri, tahu-tahu sudah di langit ke tujuh. Dan ia sedang berada di tepi jalan raya. Dilihatnya cukup banyak orang lalu lalang, melewatinya. 

Satu persatu orang itu diamati. Untungnya, bahasa yang mereka pakai, sama dengan bahasa di bumi. Sehingga bisa dimengerti. Silai berharap mudah-mudahan orang yang sebanyak itu, ada yang menyebut nama ayahnya. Sulit baginya, sebab wajah ayahnya sendiri tidak dikenalnya. Lama Silai duduk sambil memperhatikan percakapan mereka. Tidak lama kemudian, Silai terkejut. Dia mendengar di antara mereka yang berjalan di belakang memanggil nama ayahnya. ”Mei! Manyamei Kajangga Hatuen Bulan! Jangan terlalu cepat! Tunggu aku dulu! Kata orang tadi. Dua tiga kali panggilan itu. Silai mencoba melihat, mana orangnya yang dipanggil dengan nama ayahnya. Tidak jauh dari tempat Silai duduk, dilihatnya laki-laki yang dipanggil menyahut: ”Yuk ..., cepat sedikit!” katanya. Tersirat darah Silai melihat laki-laki yang menyahut tadi. ”Orang inilah rupanya ayahku itu,” katanya dalam hati. 

Begitu laki-laki tadi melewati Silai, secepat itu juga ia menangkap kaki ayahnya. Dengan erat sekali, kaki itu dipegangnya seraya memanggil: Ayah! Ayah! Ini aku, anakmu! Katanya berulang kali. Laki-laki yang ditangkap kakinya tadi sangat terkejut. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan pegangan Silai. 

Tetapi tidak dapat. Malah Silai semakin memperkuat pegangannya. Berita tentang peristiwa tadi, sore itu juga tersebar ke seluruh kahyangan. Oleh para tokoh terkemuka, Raden Tungku (Ayah Sangomang), Raden Tanjung, Rahu, Telun, dan Maharaja Sangen, Nyamei dipanggil. Di balai sidang, perkara itu dibicarakan. Mula-mula, mereka minta Silai menceritakan hal ikhwalnya. Silai pun bercerita dari awal mula ayahnya kawin dengan ibunya, Tuan Putri. Waktu ibunya sedang hamil enam bulan, ayahnya Manyamei Kajangga Hatuen Bulan pulang menjenguk keluarganya di tempat asalnya. Ia berjanji kepada istrinya (Tuan Putri) ibu Silai, cuma sebentar. Dan pasti kembali lagi ke bumi sebelum melahirkan. Pada saat Silai lahir, bahkan sampai sekarang ayahnya Manyamei Kajangga Hatuen Bulan tidak pernah kembali lagi. Itulah sebabnya Silai nekad menyusul. 

Mendengar cerita itu, Manyamei Kajangga Hatuen Bulan dengan jujur mengaku. Dan ia yakin, bahwa anak itu, anak kandungnya. Manyamei minta maaf kepada para tetua. Namun para tetua masih mempersalahkan Manyamei. Sebab menurut keterangannya sendiri, ia belum membayar mas kawin istrinya. Oleh sebab itu, mereka mengutus Sangomang dan Raden Tunjung turun ke bumi. Mereka ditugaskan untuk membuat Guci atau yang disebut ”Balanga” untuk diserahkan kepada raja Darat. Yaitu untuk pembayaran mas kawin Tuan Putri istri Manyamei Kajangga Hatuen Bulan. Untuk pekerjaan itu, mereka meminta Petak Kasambungan (Tanah Berkat) untuk bahan campuran guci-guci yang akan dibuat nanti. Setiba di bumi, Sangomang dan Raden Tunjung melaporkan kepada raja Darat. Mereka meminta agar ditunjukkan sebuah bukit untuk diambil tanahnya menjadi bahan pembuat guci atau balanga 

Raja Darat menerahkan sebuah bukit namanya Bukit Tunjung kepada kedua orang tersebut. Sangomang dan Raden Tunjung pun berangkat ke sana. Namun sebelumnya, mereka minta, selama tujuh bulan, seorang pun tidak boleh mendatangi tempat itu. Kalaupun larangan itu dilanggar, maka resikonya jangan menyalahkan Sangomang berdua. Begitulah mereka berdua, mulai bekerja. Dari menggali tanah mencampurnya dengan Tanah Kasambuyan. Bertumpuk-tumpuk benda-benda itu, di sekeliling bukit. Sebagian masih belum dibakar. 

Suatu hari, Tuan Putri ingin melihat pekerjaan Sangomang dengan Raden Tunjung. Begitu, ia tiba di tempat kedua orang tadi bekerja, tiba-tiba terdengar suara menguruh. Bukit Tunjung seperti runtuh meletus. Tahu-tahu semua guci dengan berbagai jenis tadi berubah menjadi binatang. Bermacam-macam jenis hewan. Dari badak yang terbesar sampai dengan kancil yang terkecil. Melihat akan hal tadi dengan kesaktiannya, Sangomang berdua cepat membuat pagar. Agar binatang-binatang itu tidak keluar. 

Melihat kejadian tadi, dengan tangkas Tuan Putri menangkapnya. Yang tertangkap berubah langsung kembali asalnya. Yang tidak tertangkap tetap menjadi binatang hutan. Dan dari ujung pagar yang tidak sempat selesai itu, binatang-binatang tadi keluar. Dan tetap menjadi binatang sampai sekarang. Sangomang dan Raden Tunjung sangat marah. Rupanya manusia tidak setia kepada janjinya. Termasuk Raja Darat. Dengan perasaan jengkel Sangomang dan Raden Tunjung pulang ke kahyangan. Demikian pula Raden Tunjung. Ia pun menyuruh hambanya mengumpulkan sisa guci yang masih utuh. Hampir penuh ruangan istana oleh guci-guci dari berbagai jenis. Namun sedikit sekali, dibandingkan jumlahnya yang dibikin Sangomang semula. Walau demikian Raja Darat tetap gembira. Karena mas kawin anaknya Tuan Putri adalah harta kekayaan yang tidak dimiliki orang lain. 

Karena menyesal atas kehilangan guci tadi, Raja Darat memanggil kawannya Ratu Jampa. Beliau diminta oleh Raja Darat, membuat guci dengan contoh bikinan Sangomang dengan Raden Tunjung. Ratu Jampa pun setuju. Hanya saja dia tidak memiliki tanah kasambuyan sebagai bahan campuran. Dan mereka menamakannya balanga satengah. Artinya bukan yang aslinya. 

Demikianlah, setelah Raja Darat meninggal, seluruh harta kekayaan itu, dibagi-bagi kepada anak cucu beliau. Itulah pula sebabnya, maka benda-benda pusaka itu menyebar ke seluruh pelosok pulau Kalimantan. Dan menurut cerita orang tua, jumlah guci atau balanga yang asli hanya dalam jumlah terbatas. Di Kalimantan Tengah, pemiliknya hanya di tangan orang yang berada saja. Terkecuali guci bikinan Ratu Jampa, yakni guci yang baru atau ”balanga taheta.” 

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 DAYAK NEWS
Design by FBTemplates | BTT