BREAKING

Minggu, 21 Juli 2013

Misteri Batu Tungadu

Ada sebuah riam yang sangat terkenal di Sungai Katingan. Riam tersebut adalah yang terbesar di Kalimantan Tengah namanya Riam Mangkikit. Pada riam tersebut ada sebuah tempat yang disebut Batu Tungadau. Batu tersebut dinamakan demikian karena di bawahnya terdapat lubang ikan tungadau, sejenis ikan hiu. 

Dari tempat inilah cerita ini berasal. Dahulu, di tengah Riam Mangkikit ada sebuah kampung kecil. Di kampung itu ada sebuah rumah keluarga yang besar (rumah betang) dan lima buah rumah biasa. 

Kampung ini dipimpin oleh seorang pemuda yang gagah berani. Namanya Mangkikit. Ia memang masih muda namun disegani semua orang. Sifatnya agak pendiam namun ia sangat pemberani menghadapi segala sesuatu. Hal ini dikarenakan tindakannya selalu didasari kebenaran. Bila kebenaran yang dibela ia rela mati untuk memperjuangkannya. Ia sudah mempunyai istri yang cantik jelita. Namanya Nyai Endas. 

Kecantikan perempuan ini terkenal ke seluruh daerah. Banyak lelaki muda yang sengaja bermalam di rumah betang hanya karena ingin melihat kecantikan Nyai Endas. Kehidupan sepasang suami-istri itu nampak bahagia. Walaupun sudah sepuluh tahun mereka belum dikaruniai anak, mereka tidak mengeluh dan tidak 
mengurangi rasa cinta kasih keduanya. Mereka hidup aman, tentram, dan damai. 

Pada suatu sore Mangkikit mempersiapkan peralatannya untuk berburu. Nyai Endas bertanya,”Kanda , kapan akan berangkat berburu?” ”Besok pagi-pagi benar.” jawab Mangkikit. Pagi-pagi sekali Mangkikit sudah bangun, lalu diambilnya sumpitan dan anaknya. Nyai Endas juga sudah mempersiapkan makanan dan penginangan untuk bekal suaminya. 

”Terima kasih istriku,”kata Mangkikit sembari menerima bekal pemberian Nyai Endas.” Kau baik-baik saja ya tinggal di rumah. Jangan pergi sebelum aku datang.” Mangkikit juga berpesan hal yang sama kepada kedua pembantunya yaitu lelaki setengah baya bernama Dungak dan seorang perempuan tua bernama Tambi Jongkong. 

”Jangan kuatir Tuan, saya akan menjaga Nyai Endas baik-baik,”kata Dungak dan Tambi Jongkong hampir bersamaan. Sepeninggal Mangkikit Nayi Endas masuk ke dalam kamarnya untuk mengayam tikar rotan. Dungak membelah kayu di belakang, Tambi Jongkong memasak di dapur. 

Siang hari, tiba-tiba terdengar pintu diketuk orang. Nyai Endas memanggil Tambi Jongkong untuk melihat siapa yang datang bertamu. Tambi Jongkong membuka daun pintu namun ia hanya berdiri terpaku saat melihat tamu yang datang. Lama Tambi Jongkong berdiri seperti patung, tak tahu  apa yang dikerjakannya. Baru setelah tamu itu menegurnya Tambi Jongkong tersadar. 

”Mangkikit ada?” tanya tamu itu. 
”Tidak ada Tuan, sudah pergi ke hutan sejak pagi tadi.” 
”Nah, kebetulan. Nyai Endas ada ’kan?” 
”Ya, ada. Silakan masuk!” 
Mendengar ucapan itu Nyai Endas yang berada di dalam kamar segera ke luar. Saat berada di ruang tamu ia tertegun. Tamu itu ternyata seorang leleki muda yang tampan dan gagah. Kumisnya tipis, tubuhnya kekar, kulitnya putih kuning dan tampak bersih, ada kain berwarna merah melilit di kepalanya. Ada mandau terselip di pinggang dan ia memegang tongkat. 

Entah karena pengaruh apa, setelah menatap sepasang mata lelaki itu, Nyai Endas seperti kehilangan kesadarannya. Ia berbicara dengan lelaki itu sambil berdiri. Tambi Jongkong masuk ke ruang dalam. Ia hanya sempat mendengar percakapan mereka lamat-lamat. 

Tidak berapa lama kemudianNyai Endas masuk ke dalam. Ia memberi isyarat agar Tambi Jongkong mengikutinya ke dalam kamar. Tambi Jongkong memanggil Dungak agar segera masuk rumah. Melihat tamu asing yang tidak dikenal Dungak nampak kurang senang, namun ia segara masuk ke dalam kamar karena Nyai Endas memanggilnya. 

”Dungak .... dan kau Tambi Jongkong, ” kata Nyai Endas. ”Aku tidak tahu kenapa aku tak berdaya menolaknya. Lelaki itu memaksaku agar aku mengikutinya pergi.” Darah Dungak seketika mendidih, secepat kilat ia menyambar Mandau, pusaka yang tergantung di dinding. ”Aku takkan biarkan orang asing itu membawa Nyai! Bukankah Nyai sudah bersuami?” 

Namun Nyai Endas menghalangi niat Dungak. Melihat ini Dungak terpaksa mengalah, walau hatinya tetap tidak terima atas perlakuan tamu tak dikenal itu. ”Jangan melawannya, tampaknya ia lebih kuat darimu. Kita tidak berdaya, jangan berkorban sia-sia. Begini saja .... nanti ka-takan kepada suamiku, Mangkikit.” kata Nyai Endas. ”Bahwa aku tetap mencintainya. Jika aku nanti ke luar rumah ikutilah dengan mata kalian kemana arahku pergi. Setelah itu katakan kepada Mangkikit agar ia menyusulku.” 

Dungak dan Tambi Jongkong mengangguk dengan hati sedih. Sesudah itu Nyai Endas menyiapkan barang bawaannya. Kemudian ia pun ke luar bersama laki-laki itu. Dari betang mereka berdua turun ke sungai. Dungak dan Tambi Jongkong yang mengawasi kepergian Nyai Endas merasa kaget. Mereka hampir tak percaya pada penglihatannya sendiri. 

Kedua orang asing itu berjalan di atas air seperti di jalan daratan saja. Menyaksikan peristiwa itu. Mereka ikut turun ke sungai untuk melihat ke mana Nyai Endas dibawa. Akhirnya, sesampai di Batu Tungadau, keduanya lenyap. Tanpa menghiraukan Tambi Jongkong, Dungak bergegas lari ke betang. Diambilnya gong
lalu dibunyikannya berkali-kali. 

Penduduk yang sedang bekerja di ladang mendengar bunyi gong itu segera berlari pulang ke kampung. Pasti ada kejadian luar biasa. Penduduk kampung gempar setelah diberitahu Dungak bahwa Nyai Endas diculik laki-laki tak dikenal. Mereka ngeri kalau Mangkikit mengamuk karena kejadian itu. Semua wanita dengan anak-anak dengan diam-diam meninggalkan kampung itu. Mereka takut kalau-kalau nanti Mangkikit mengamuk membabi buta. Yang tinggal sekarang hanya para laki-laki dewasa. 

Tambi Jongkong masih menagis sesenggukan dan pasrah pada nasibnya. Demikian pula halnya dengan Dungak yang sejak tadi banyak diam, mereka masih belum tahu apa yang harus dikatakan kepada Mangkikit jika tuannya itu datang. Sementara itu, Mangkikit dalam perjalanan pulang. Ia mendapat firasat, sesuatu yang luar biasa terjadi di kampungnya. Ia cepat-cepat pulang. Jalannya dipercepat setengah berlari. 

Setibanya di belakang rumah betang, ia melihat banyak orang bergerombol. Apa gerangan yang terjadi; tanyanya dalam hati. Dengan napas terengah-engah, ia naik ke betang seraya bertanya, ”Apa yang telah terjadi?” 

Tak seorang pun yang berani menjawab. Karena tidak ada yang menjawab, Mangkikit menjadi marah. Dungak juga tidak berani mengatakan yang sebenarnya mengenai Nyai Endas sewaktu ditanya. Menyaksikan keadaan seperti itu, seorang laki-laki tua tampil seraya berkata dengan suara lembut. ”Mangkikit anakku ..., coba tenang sedikit. Hati dan pikiran kita harus jernih,” katanya. ”Apa yang sebenarnya terjadi, Paman?” tanya Mangkikit kepada orang tua itu. Orang tua itu pun menceritakan seluruh kejadian itu tanpa satu pun yang tertinggal. 

Mendengar penjelasan pamannya, Mangkikit menghela napas panjang.Penduduk kampung ikut merasa lega dan bersyukur karena Mangkikit mampu mengendalikan emosinya. Mangkikit hanya meminta para kepala keluarga untuk datang ke rumahnya nanti malam. Di sana ia akan memberitahukan rencana selanjutnya. 

Malam itu, kembali mereka berkumpul. Mangkikit meminta agar setiap keluarga menyiapkan tuak. Pada hari kesembilan setelah hari itu, mereka akan berkumpul lagi. Mangkikit tidak menjelaskan maksudnya. Ia hanya berpesan agar mereka menyiapkan keperluan pesta. Waktu yang ditetapkan itu pun tiba. Mangkikit memerintahkan agar pesta dimulai dari rumah yang paling ujung bagian hulu. Sepuluh hari kemudian, tibalah giliran terakhir di rumah betang Mangkikit. Sebelumnya Mangkikit berpesan agar hari terakhir itu semuanya hadir. Sejak pagi mereka makan dan minum sepuas-puasnya. Setelah semuanya selesai, Mangkikit memerintahkan semua orang berkumpul di pinggir tepian mandi sungai. 

Setelah semuanya lengkap, Mangkikit memerintahkan semua kepala keluarga membakar rumahnya. Tidak seorang pun membantah perintahnya. Namun ada seorang tua yang tetap penasaran, mengapa Mangkikit memerintahkan hal yang nampaknya sangat merugikan itu. 

”Anakku ..... jelaskan kepada kami, agar kami tidak penasaran. Apa maksud semua ini?” 
”Paman .... kampung kita sudah diinjak-ijak orang. Kita harus melupakannya dan mencari tempat yang baru.” Api terus berkobar, dalam tempo yang tidak begitu lama semua rumah di kampung itu telah terbakar. 

Setelah semua berkumpul, Mangkikit berkata, ”sekarang turunlah ke sungai, berjalanlah dengan tenang menuju Batu Tungadau.” Setelah itu, Mangkikit menabur beras kuning ke pusaran air Batu Tungadau. 
Ia menunjuk salah seorang untuk terjun ke pusaran air itu terlebih dahulu. Jika mereka masih hidup agar dalam dunia yang baru itu saling menunggu, 

Sesudah semua penduduk kampung terjun Mangkikit pun menyusul. Di sana ia melihat sebuah kampung yang masih bersih dan rapi. Ia mengisyaratkan agar mereka menunggu dengan tenang. Dengan didampingi tiga orang laki-laki pilihannya, ia memasuki kampung itu. Tidak kelihatan seorang pun penghuni di sana. 

Tidak jauh dari situ, di halaman sebuah rumah besar dan bagus, tampak Nyai Endas. Atas perintah Mangkikit, mereka berpencar mengepung rumah itu. Setelah dekat benar, Mangkikit memberi syarat kepada Nyai Endas. Istrinya mengatakan bahwa laki-laki yang menculiknya masih tidur di kamar. Mangkikit mengikuti strinya masuk. Ia adalah seorang kesatria yang pemberani. Pantang baginya membunuh musuh secara curang. Secepat kilat, Mangkikit mencabut dohong yang terselip di pinggangnya, lalu berteriak keras membangunkan lelaki itu. Lelaki itu kaget dan segera melompat bangun. Terjadilah pertarungan seru. Keduanya sama-sama memegang mandau. Namun akhirnya Mangkikit dapat mengalahkannya, dibunuhnya laki-laki itu. Ketiga pengawalnya disuruh menjemput keluarganya yang menunggu di luar kampung itu. 

Dari keterangan Nyai Endas, mereka mengetahui kampung itu adalah tempat tinggal bangsa ikan Tungadau. Siang hari, mereka semua pergi mencari makan. Itulah sebabnya tak ada orang yang mereka temui pada siang hari. Sore hari mereka baru pulang. Akhirnya, Mangkikit menjadi raja di sana dan hidup dengan damai, aman, dan tentram.

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 DAYAK NEWS
Design by FBTemplates | BTT