BREAKING

Minggu, 21 Juli 2013

Nyai Balau

Dahulu kala di sebuah ‘lewu Tewah’ (Tewah adalah nama sebuah kota/kampung), sekarang telah menjadi Kecamatan Tewah, di daerah Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, ada seorang putri yang cantik jelita namanya “Nyai Balau”. Ia disbut Nyai Balau karena rambutnya panjang dan memikat hati. Ia sangat santun budi bahasa serta baik hati, hormat dan sayang terhadap orang tua, keluarga dan sesama. Laki-laki mana yang tidak mau padanya. Namun apa hendak di kata tidak sembarang orang yang berani melamar Nyai Balau, karena ia adalah anak orang terpandang di Lewu Tewah itu. Lagi pula ayahnya menginginkan Nyai Balau menikah dengan laki-laki terpandang juga.

Singkat cerita, ada seorang laki-laki berasal dari keluarga terpandang yang juga mendengar kabar tentang kecantikan Nyai Balau di lewu Tewah. Laki-laki itu bernama “Kanyapi”, ia adalah laki-laki tampan, gagah dan berakal budi. Ia datang ke Tewah dan melamar Nyai Balau untuk menjadi istrinya. Orang tua Nyai Balau menyetujui lamaran Kanyapi. Dan dalam waktu segera, dilangsungkanlah Pernikahan Kanyapi dan Nyai Balau dengan pesta yang sangat meriah.

Beberapa waktu kemudian Kanyapi dan Nyai Balau bersepakat untuk belajar hidup mandiri, sebagai suami-istri. Lalu diutarakanlah maksud mereka kepada orang tuanya. Dan orang tua Nyai Balau mengizinkan anak dan menantunya untuk hidup mandiri, dengan tinggal di rumah yang sudah disiapkan oleh orang tuanya.

Keluarga baru ini hidup bahagia, dan karena Kanyapi adalah seorang yang arif dan bijaksana, penuh perhatian dengan sesama di lewu Tewah, akhirnya Kanyapi diangkat menjadi “Temanggung” (pemimpin daerah), ia dan istrinya sangat dihormati dan dikagumi. Namun kebahagiaan mereka belum lengkap karena belum mempunyai anak. Temanggung Kanyapi dan Nyai Balau terus berdoa memohon kepada yang Kuasa agar diberikan seorang anak.

Beberapa tahun kemudian akhirnya mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Betapa bahagia mereka atas kehadiran seorang anak satu-satunya yang mereka harapkan bertahun-tahun. Mereka pun bersyukur dan berjanji untuk merawat anak itu dengan baik. Namun tidak dikekang, sebab Temanggung Kanyapi tetap mengizinkan anaknya bergaul dengan anak-anak lewu yang sebaya lainnya. Temanggung Kanyapi menginginkan anaknya berkembang dengan baik wajar serta menjadi anak yang baik hati dan mengasihi sesama.

Pada suatu hari, anak ini belum juga kembali ke rumah tempat dia biasa bermain dengan teman-temannya. Hingga hari sore bahkan malam hari putra mereka belum juga pulang. Temanggung dan Nyai Balau pun mulai gelisah, dan bertanya-tanya, mengapa putra mereka belum juga pulang. Akhirnya Temanggung dan Nyai Balau, memutuskan untuk pergi mencari putra mereka.
Mereka sudah mencari di sekeliling Lewu Tewah, putra simata wayang mereka belum juga ditemukan. Hingga malam pun larut. Temanggung dan Nyai Balau bersepakat untuk pulang dan beristirahat agar bisa mencari putra mereka besok harinya.

Pada saat pagi hari, Temanggung dan Nyai Balau memberitahukan kepada warga Lewu Tewah bahwa putra mereka hilang, dan mereka harus mencarinya. Maka bersama warga lewu, Temanggung dan Nyai Balau mereka mencari anak mereka ke segala penjuru, sambil memukul gong, siapa tahu putra mereka mendengar bunyi gong. Namun tetap saja anak mereka belum ditemukan.

Nyai Balau sangat sedih dan merasa bersalah, karena putranya belum ditemukan, namun ia tetap bertekad untuk terus mencari putra simata wayangnya.

Pada suatu hari, Nyai Balau secara diam-diam, tanpa sepengetahuan suaminya, ia berangkat dari rumah menuju sebuah hutan yang dianggap angker, karena jarang dilewati manusia. Di hutan itulah Nyai Balau ‘bertapa’ atau dalam bahasa Dayak Ngaju “Balampah” untuk meminta petunjuk dari Yang Mahakuasa, dimana keberadaan putranya. Selama tujuh hari, tujuh malam Nyai Balau bertapa, akhirnya pada hari yang ketujuh seorang nenek tua datang menjumpainya memberikan petunjuk mengenai putranya.

“Cucuku Nyai Balau, saya mengetahui tujuanmu datang ke sini, yaitu untuk mengetahui keberadaan putramu.” Sapa nenek tua ini. “Betul nek”, jawab Nyai Balau.

“Pulanglah cucuku, kamu tidak akan dapat menemukan putramu, ketahuilah ia sudah sudah tiada, ia sudah mati. Ia di “kayau” (dibunuh) oleh “Antang” dari Juking Sopang. Kata nenek tua ini kepada Nyai Balau.

Mendengar penjelasan nenek tua itu, Nyai Balau tersentak kaget, dan ia pun menangis dan meratap sedih, putra satu-satunya telah dibunuh orang.

Dengan dukacita yang mendalam itu, Nyai Balau berucap, dengan geramnya “saya akan membalas kematian putra satu-satu yang saya sayangi. Saya akan membalas dendam! Saya akan membuat perhitungan dengan “Antang”!!

“Baiklah, kalau memang itu sudah tekatmu, ujar nenek kepada Nyai Balau. “Saya akan memberikan kesaktian kepadamu agar kamu dapat membalas dendam terhadap Antang. “Selendang ini kuberikan kepadamu, untuk menghadipi musuh-musuhmu.”

Nyai Balau pun mengucapkan terima kasih kepada nenek yang sudah memberikan dia kesaktian dan sebuah selendang sakti.

Setelah itu Nyai Balau segera pulang kembali ke rumah. Di rumah suaminya Temanggung Kanyapi dan seluruh keluarga telah menantinya dengan cemas, karena pergi tampa pamit dan hilang berhari-hari tanpa kabar berita.

Nyai Balau menceritakan kepergiannya, untuk mencari petunjuk dari yang Kuasa, dan pertemuannya dengan nenek tua, serta kesaktian yang diberikan nenek itu. Walaupun Temanggung Kanyapi bersedih mendengar bahwa putranya telah dikayau Antang, namun ia merasa lega karena Nyai Balau telah kembali dengan selamat.

Kemdian Nyai Balau mengajak Tamanggung Kanyapi dan warga Lewu Tewah yang gagah berangkat ke Juking Sopang, untuk membalas dendam terhadap Antang. Setibanya di Juking Sopang, Nyai Balau memanggil pemuda yang bernama Antang, supaya keluar dan mengakui kesalahannya dan memohon ampun.

“Wahaii… Antang..! Apakah benar engkau membunuh anakku? Kalau memang benar, mengakulah dan memohon maaf terhadap saya dan suami saya Temanggung Kanyapi, sebelum saya habis kesabaran terhadap engkau.!” Kata Nyai Balau.

“Hei Nyai Balau beraninya kamu menuduh saya! Kata Antang. “Jangan macam-macam dengan saya, saya tidak membunuh anakmu. Bisa-bisa kamu yang saya bunuh nanti..!”

“Mengakulah kamu Antang! saya masih sabar. Kata Nyai Balau. Saya mengetahui perbuatanmu, kamu tidak bisa berbohong terhadap saya.!”

Memang sudah tabiat Antang, yang angkuh dan sombong, dia tidak mau mengakui kesalahannya dan perbuatan jahatnya yang membunuh putra Nyai Balau. Itu karena dia merasa sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa dan sakti. lalu kemudian Antang menyerang Nyai Balau dengan mandaunya. Perkelahian pun tidak dapat dihindari. Nyai Balau terpaksa membela diri, menghindar serangan dari Antang.

Antang tidak mengira bahwa yang ia hadapi bukanlah perempuan sembarangan. Dengan mudah Nyai Balau menangkis serangan Antang yang bertubi-tubi. Sampai akhirnya dia kelelahan, dan seketika Nyai Balau mengebaskan selendang saktinya ke arah Antang, dan Antang pun jatuh tersungkur lemah lunglai.

Nyai Balau perempuan yang berhati mulia dan murah hati, dia tidak membunuh Antang. Ia mengajak Antang dan keluarganya untuk berdamai secara adat Dayak Ngaju, yaitu dengan mengakui kesalahan dan membayar denda sesuai hukum adat Dayak Ngaju saat itu.

Antang adalah seorang yang keras kepala, dan tidak mau mengakui kekalahannya. Ia tetap bersikeras melawan Nyai Balau. Dengan menghimpun segenap kekuatan dan kesaktiannya Antang, kembali bangkit dan menyerang Nyai Balau. Kembali perkelahian tidak dapat dihindari. Sekarang bukan hanya Antang dan Nyai Balau yang adu kesaktian, demikian juga yang lain Temanggung Kanyapi dan warganya juga masuk dalam medan pertempuran yang sengit. Banyak jatuh korban dan pertumpahan darah. Dan akhirnya Nyai Balau mengibaskan selendang sakitnya, Antang pun terpental dan mati di tangan Nyai Balau.

Pertempuran itu berhenti dengan kekalahan di pihak Antang dan karena Antang yang dianggap sakti pun mati ditangan Nyai Balau, maka pihak Antang menyerah. Nyai Balau, Temanggung Kanyapi dan warganya pulang meninggalkan Juking Sopang, yang penuh dengan darah korban, termasuk Antang. Karena itu Juking Sopang sampai sekarang orang menyebutnya “Rangan Daha” (batu/koral yang berdarah).

Setelah pertempuran itu, nama Nyai Balau semakin tersohor di segala penjuru daerah. Dia ditakuti dan dihormati orang, lebih-lebih warga Lewu Tewah. Akhirnya warga Tewah mengangkat Nyai Balau menjadi pemimpin mereka dan diberi gelar “Pangkalima” (pahlawan yang sakti mandraguna). Dibawah kepemimpinan Nyai Balau lewu Tewah aman Sentosa, tidak ada orang yang berani mengganggu.

Namun di lain pihak, yaitu di lewu Juking Sopang keluarga Antang masih menyimpan dendam, karena kematian Antang. Diam-diam mereka menyusun strategi dan mengumpulkan orang-orang yang gagah perkasa dan sakti, untuk membalas dendam, menyerang balik lewu Tewah dan Nyai Balau beserta suaminya Temanggung Kanyapi…

Kemudian beberapa waktu setelah peristiwa itu, keluarga (alm) Antang, melai berkemas berangkat untuk menyerang lewu Tewah, dengan maksud membalas dendam atas kematian keluarga mereka Antang. Mereka tidak melewati transportasi air, akan tetapi melewat jalan lain secara diam-diam , yaitu melewati hutan belantara, turun lembah, naik bukit, jalan yang berliku-liku, agar penyerangan mereka tidak diketahui musuh.

Ketika hari sudah sore, tibalah pasukan dari Juking Sopang itu di sebuah bukit yang dinamakan “Bukit Ngalangkang”, bukit ini tepat di belakang lewu Tewah, dan tempat strategis untuk persiapan menyerang musuh. Dan mereka sengaja menunggu malam tiba, karena saat malam dan gelap, tentunya musuh yang akan di serang sedang tidur dan tidak siap.

Malam pun sudah tiba, maka mulailah pasukan Juking Sopang turun dari atas “Bukit Ngalangkang”, rencananya untuk memasuki lewu Tewah dan memulai penyerangang. Namun ketika sudah mendekat lewu Tewah, mereka kembali berputar-putar arah jalan dan akhirnya kembali lagi ke Bukit Ngalangkang. Beberapa kali mereka mencoba untuk memasuki lewu Tewah, dan tetap gagal, karena mereka tidak menemukan jalan yang benar dan tidak dapat melihat lewu Tewah. Mereka hanya berputar-putar di Bukit Ngalangkang. Keadaan itu membuat mereka kebingungan

“Lhoo….!! seru seseorang, “mengapa kita hanya berputar-putar di Bukit Ngalangkang ini saja?” mengapa kita tidak dapat menemukan jalan dan melihat lewu Tewah?” Kalau seperti ini, bagaimana mungkin kita bisa masuk lewu Tewah, apalagi untuk membalas dendam, melihatnya saja kita tidak mampu.?” Kata seseorang lagi.

“Oh…. ini pasti karena kesaktian Nyai Balau, dia sudah membentengi atau memagari dengan “salatutup” (aji penutup kota) lewu Tewah dengan kesaktiannya, sehingga kita tidak dapat melihatnya.!”

“Baik, kalau demikian, mari kita menghimpun segenap kekuatan dan kesaktian kita untuk membuka “salatutup Nyai Balau te.!”

Dan dengan segenap kemampuan mereka dari Juking Sopang itu, berusaha membuka “salatutup”, tetap saja mereka tidak dapat membukanya. Sungguh kesaktian Nyai Balau lebih tinggi dari kesaktian mereka.

Dalam keadaan putus asa, karena gagal memasuki lewu Tewah dan membuka salatutup itu, mereka berkata : “ Kalau seperti ini, tidak mungkin kita berhasil membalas dendam terhadap Nyai Balau, membuka salatutupnya saja kita tidak mampu, apalagi menghadapinya langsung, dan tidak mungkin kita menang” Lebih baik kita pulang saja ke Juking Sopang (Rangan Daha).

Pasukan dari Juking Sopang akhirnya pulang kembali ke Juking Sopang, dengan perasan kecewa dan kesedihan hati karena gagal membalas dendam. Memang Nyai Balau benar-benar “Sakti Mandraguna”, dan ia memang mengetahui kedatangan pasukan dari Juking Sopang, karena itu ia memasang “salatutup lewu” (pagar kota), karena ia ingin menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi.

Baru sesudah itu, Nyai balau menceritakan kepada kepada semua warga lewu Tewah perihal kedatangan dan rencana jahat pasukan Juking Sopang, karena itu ia memasang ‘salatutup lewu”.

Sesudah peristiwa itu, lewu Tewah, aman tenteram, tidak ada seorang pun yang berani mengganggu dn membuat onar. Semua orang menghormati dan mengagumi akan Kesaktian dan Kearifan Nyai Balau dan memajukan lewu Tewah dan menjaganya.

Hingga akhir hayatnya, Nyai Balau selalu dikenang, dan namanya terukir indah di hati warga Tewah bahkan seluruh masyarakat Dayak yang mengenalnya. Bahkan sampai sekarang nama Nyai Balau selalu disebut-sebut “Secantik orangnya, dan seindah rambutnya yang panjang. Demikian Nyai Balau menjadi simbol Kecantikkan Putri Dayak, berambut panjang yang Sakti Mandraguna.

Nama besar Nyai Balau yang tersohor kesegala penjuru negeri, turun-temurun bahkan sampai masa penjajahan Belanda ke Indonesia, membuat serdadu Belanda tidak berani mendekati Lewu Tewah.
Sumber

About ""

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vivamus suscipit, augue quis mattis gravida, est dolor elementum felis, sed vehicula metus quam a mi. Praesent dolor felis, consectetur nec convallis vitae.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 DAYAK NEWS
Design by FBTemplates | BTT