BREAKING

Senin, 22 Juli 2013

Dayak Art And Ritual

The word Dayak stands for “dweller of the hinterland”. It generally refers to the indigenous (non-Malay, non-Chinese) peoples of Indonesian Borneo who live along the banks of the Barito, Kahayan, Katingan, Kapuas and Mentaya rivers as well as in the surrounding areas.

Culturally on the Southern Borneo, the Dayak belief is a Kaharingan, or animist, people divided into several groups who have oral literature only. Their daily life and the accomplishment of their tasks, which unfold essentially within isolated communities, favor the development of aspects that are peculiar to the various regions and villages. At its best, traditional Dayak art equals the finest of Melanesia & Africa, generally considered the source of the world’s best traditional art. Powerful, expressive Dayak woodcarvings and other art forms-cloth, beadwork , - have universal appeal. 

Unfortunately, fine quality Dayak art is, for all practical purpose, a thing of the past. We have to travel to the most remote areas to find old carvings. The sad fact is that the best place to see authentic Borneo art is in the museums of Europe which its unfortunately keeping in the basement store. 

One can still come across some examples of Dayak art in the inland villages, and seeing these pieces in their proper setting is an experience no museum environment can hope to duplicate. 

MOTIF & STYLES
Hinduism influences reached Borneo about 2000 years ago from Java. The most important, still visible contribution of Hindu art are the dragon and tiger motives ( there are no tigers on Borneo, and also no dragons ). The dragon, symbolizing the lower world, remains an essential art form, even the Islamized Malay cultures of Borneo. 

Because of the many movements of Dayak people, and their big cultural flexibility, it's hard to say whether certain motives belong to a population or not. Expert, analyzing BORNEO art, trace the source of Dayak motifs to the Asian mainland, particularly China & Vietnam. Art styles from the Dongson civilization -at its height, 300 BC to 100 BC- spread through much of the archipelago.

The Dongson inspired motifs in Borneo include the spiral and the repetition of various curved lines. Instead of human or animals standing alone, these figures appeared in a tangle of varied and repeating geometric forms. In the Apokayan, Kenyah designs are decorated with the group's distinctive baroque style of carving. Most of the places where traditional art can still be found off the beaten path, and require time and effort to reach. The late Chou period in China- 400 BC to 200 BC- left more noticeable marks on Dayak art, though few traces of Chou influence exist elsewhere in the archipelago. Chou art styles are said to be visible in the Dayak's fantastical animals, and in wild compositions that blend variety of asymmetrical designs into harmonious whole. 

Late Chou influences can most clearly be seen on Borneo's masks & shields, which, according to one art historian, display decorative work that is of a form unique in Indonesia.In the artistic expressions of the Bahau, Kenyah and Kayan is often a asoq to be seen, a stylized 'dog-dragon'. This animal, which is said to have protecting powers, shows relations with a very ancient mythological. The animal-like behavior is still are honored and loved. Among many Dayak populations a combination of fantastic-animal habits are common in ancestral rituals.

This is especially true for what the Kenyah and Kayan concerned, which show strong resemblance in a cultural way. Since the spirits and other supernatural creatures in the pantheon of many Dayak populations are the same on the whole, art forms were easily taken from or influenced by a population to another.

In the art of the Dayak, frightening animals were used to scare bad spirits and enemies. The shields of the Kenyah, Kayan and Bahau were often decorated with hypnotizing eyes and mouth full with dangerous teeth. These images can also be found on the masks and graves which are made by the handicraftsmen of these populations. In Dayak art, frightening animals generally function to scare away both evil spirits and human enemies. The designs are often decorated with large, hypnotic eyes and moths studded with fangs, these designs appear on masks, shields, graves, crafted by the craftsmen. Many motifs, especially the human figure, were reserved for aristocrats, from Dayak Kenyah, Kayan and Bahau.

DAYAK RELIGION & ART
Although there are notable differences in the various Dayak group’s religious beliefs, the comment environment of jungle and rivers, along with rice-based agriculture, seems to have led to similar Dayak “faiths”. Spirits crowd the Dayak supernatural world. These powerful beings –some beneficial, some harmful- are manipulated through rituals, offerings and various artistic expressions. 

Most of Dayak art was, and to a large extent remains, intimately associated with religion and social hierarchy. Funerary structures are the most obvious extant examples. These include raised coffins and carved poles to which the animal formerly , slaves are tied before being sacrificed in the ritual.People of wealth and status, the aristocrats, received the most elaborate funerals, and special motifs were reserved for their coffins. 

The aristocrats were more powerful than other men on earth, and similarly their spirits were more powerful in the afterworld. But among certain groups, all of the deceased required a , an additional ritual treatment of the remains to send the soul on its way . Elaborate funerary structures dot villages along the middle and upper parts of same rivers in Kalteng and the Melawi basin to the north. 

Agricultural implements were adorned with carvings, either to ward off evil or to attract the supernatural protection such as: textiles, baskets, mats, blowguns, hats, stools, wooden dishes and various containers. At key points in the cycle of rice growing – planting & harvest- a dance using grotesque Hudoq mask is performed to keep maleficent spirits from taking over the “soul” of the rice. 

An alternate interpretation is that the masked dancers are representations of benevolent ancestors, and the dancers attract their prototype who then keeps the evil spirit from destroying the rice.Tiwah (“secondary burial”)

Manajah Antang - Kekuatan Supranatural Dayak

Indonesia adallah negara yang paling bnyak suku dan ras, baik Madura, Jawa, Sunda, Bugis, dan Dayak, bahkan masih bnyak lagi yang lainnya, oleh karena itulah Indonesia adalah negara yang pling banyak di minati oleh orang-orang luar Indonesia. Pada dasarnya Indonesia memiliki laut yang luas yang di hiasi oleh tumbuh karang terbaik dan ikan yang terbanyak di dunia dan memiliki pulai yang begitu banyak nan indah, lag mempunyai hutan yang sangat luas, gunung, sungai, tanah yang sangat subur suhu yang yang sedang di bandingkan dengan negara lain.Indonesia terkenak juga dengan suku-suku etnisnya, salah satunya adalah Dayak, suku Dayak adalah suku yang hiidupnya di pedalaman Kalimantan, meraka berasing dari suku-suku yang lain, suku dayak sangatlah peka dengan kekuatan spiritualnya dan juga sangat terbukti dengan kesaktiannya oleh karena itulah wajar orang Barat menamanakan suku Dayak dengan Suku Kanibal.

Suku Dayak sangatlah peka dengan sebuah mitos, kaerann mitos;lah yang menjadi sumber rujukan meraka selama ini, mulai dari nenek moyang meraka hingga sekarag, mitos adalah sebuah cerita yang menceritakan cerita massa silam yang berkaitan dengan keyakinana dan kekeuatan spiritual. Dalam mitos ada terdapat sebuah keyakinan tentang roh-roh yang berada di alam sebelah yang bisa di mintai peertolongan dengan ppersyaratan-persayaratan yang sangat mudah di dapat bagi suku mereka, yaitu dalam sebuah uapara yaangmereka namakan dengan Manjah Antang, apa sebenarrya arti dari manajah dan antang, dan dari mana asal-usul manjah antang dan bagaimana persyaratan-persyaratan yang harus di lakukan ketika hendak memulai ritual tersebut dan bagaimana tentang pantangannya? Berikut adalah sedikit ulasan mengenai permasalahan tersebut.

Manajah
Jika di telusuri dari pokok dasar katanya maka, Manajah di ambil dari asal kata bahasa Sangiang. Yang artinya di termajemahkan dalam bahasa sehari-hari dayak Ngaju adalah Mantebau, mengahau, mangatah, manambawa, sedangkan Najah adalah sebuah kata dasar dari Manajah yang berartikan tebau, ngabau, Nagtah. Jika di tinjjauu dari sebauh kamus Dayak Indonesia maka kata Manajah mempunyai arti dengan Memangil, sedangkan Tajah panggil, seruan, pekikan,perbedaan arti di atas bukanlah hal yangcukug di siknifikan tetapi pada dasarnya mempunyai maksut yang saama ketika sang Tawur.

Antang
Antang adalah bahsa dari suku dayaak nagju yang dapat di artikkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Burung yang beradaa di udara, dalam dunia orang Dayak burung itu sangat banyak (Antang itu banyak) seperti Antang Bijang, Antang Bahadang, Antang Pipit, Antang Tanjaung dan masihbanyak lagii ragamnya Anytang dari kalangan Dayak. Tetaapi keterangan tersebuut di persempit dengan mengemukakan yang di maksut Antang itu adalah Burung Elang yang berada di udara (Elang Biasa)Antang Alam atau Anatang Manuk, akan tetapi ppada kenyataan yang di adakan atau yang di maksut dalam kalimat Antang dalam konsep salah satu ritual Dayak adalah memanggil Antang Ganan Tajahan, Antang ini di katakan oleh suku dayak adalah sosok elang Sakti Antang tersebut pada mulanya adalah seorang Manusia Gaib yang berasal dari alam lain.
Memaanggi Antang bukanlah sesuatu yang gampaang untuk ddi lakukaan, memanggil Antang harus di sertai deagan namanya, di ceriatakan bahwa Antang ini bertugas menjaga suatu kamppung dari segaala musibah, akan tetapi dia di seratai dengan Patahu. Oleh sebab itulah nama Antang juga berbeda-bedaa tergantung dengan tugas apa yang di kerjaakan untuk masyarakat yang dayak yang sudah melakukan kedekatan spiritual dengannya. Ada yang bernama Antang Layang Bagunting Lamiang yang di sinyalir tempat di desa Tumbang Hakau, sedangkan di Kurun ada Antang Pating Tumbang Tarusan, Antaang Passing Hulu Rungan, Antang lawang Karai, Antang Telu Hakanduang Kumpang, Antang Kayu Tumbang Simpul.

Asal Usul Antang
Sipenulis Jurnal mengataka bahawa mencari asal usul Antang bukanlah semudah mencari beras di toko beras, akan tetapi mencari sebutir beras di padang pasir, di karenakan sulitnya melacak jejak Antang dan tidak ada bukti yang akurat secara Ilmiyah untuk mengkonsepkan hal demikian. Di samping demikian si penulis Jurnal juga mengatakaan bahwa selain buktii yang nyata yang sukar di peroleh juag di karenakn faktor penjelsan dari waraanna atau sesepuh setemmpatt yaang berbeda-beda. Ada yang menagataakan bahwa Antang yang di maksut adalh keturunan Manusia pertama. Menurutnya bahwa segala makhlluk yang kejadiaannyaa bberasal dari darah yang ppertaama tersebut menjadi mush bagi manusia kecuali Antang dan Pantahu.

Selain penjelasan di atas mengenai Antang dan pantahu ada lagi sebuah penjelasan lisan bahwa Antang dan Pantahu itu adalah keturunan maha raja Bunu yang termasuk dari sembilan turun dan sembilan lapis, yang sudah berpindah ke alam Gaib, (Menjadi manusia gaib) dan tidak mati sesuai dengan janji Hatalla. Mengenai persoalan Antang bisa di panggil dalam seebuah upacara yang di perrintahakan oleh Ranying Haatalla yang konon katanya telah membagi tugas kepada para anak buahnya, salah satunya adalah Antang. Selain itu juga ada salah satu pendapat lagii yang mengatakan kenapa Antang bisa di panggil, karena Antang merupakan nenek moyang dari bangsa Dayak sendiri.

Asal Usul Tajahan
Antang adalah sosok makhluk yang berbagai macam orang berpendapat ada yang mmengatakan dari kalangan Burung, manusia yang berpindah alam (Ke alam gaib) ada yang mengatakan itu sebagi sosok manusia yang sudah wafat tapi masih bisa di minyai pertolongan, sebagai sebuah pendapat mengenai Antang Manajah, pemanggilan Antang di tempat yang namanya Tajahan, menurut suku dayak Tajahan adalah sebuah tempat yang tidak jauh dari kawasan penduduk, selain itu merekan juga mengatakan bahwa Tajahan itu sebgai tempat Karamat. Menurut Hans Scharer dalam bukunya “Ngaju Religion” mengatakan bahwa Taajahan ada dua macam, Tajahan Tiwah dan tajahan Kayau, mengenai tajahan tiwah itu ternyata dibuat oleh para suku Dayak setelah malaksanakan upacara Tiwah ppada zaman silam, sedangkan tajahan Kayau yaitu tajahan yang di buat oleh suku dayak pada massa silam ketika menyambut seseorang dari mengayau, selain pendpat tersebut adalagi sebuah pendapat yang mengatakan bahwa tajahan itu memang ada dua, tapi bukan yang di katakn di atas tersebut melainkan adalah Tajahan Taluh dan Tajahan Ain Uluh Kalunen.

Tajahan Taluh adalah Tajahan yang tidak dibuat oleh manusia, ia begitu saja ada secara murni, pada kebiasaannya tajahan ini berada di tengah-tengah hutan yang jauh pada tempat tinggal penduduk selain itu konon ceritanya tenpatnya pun juga sangat angker, mengenai cirinya adalah banyaknya pohon diwung yang tumbuh di sekitar tajah tersebut, pada masyarakat Dayak menamai tajahan seperti ini dengan Pahewan. Mengenai Tajahan ain uluh kalunen adalah tajahan yang dibuat oleh tangan-tangan Manusia(Khususnya suku Dayak sendiri. Mengenai tanda tajah seperti ini biasanya dengan banyaknya patung-patung di sekkitar Tajahan. Menurut suku Dayak mengenai tajahan yang di buat oleh tangan manusia ini ada beberapa macam di antaranya adalah tajahan halamung Balanga, Tajahan Tiwah dan tajahan Kayau dan yang terakkhir adalahtajahan ain uluh Kabuat, suku dayak ketika membuat tajahan bukanlah sesuatu yang gampang, tidak sembarang dan tidak asal-aslan di karenakan bahwa tajahan yang di buat oleh suku Dayak ini sesuai dengan perintah orang gaib atau makhluk halus dengan cara menampakkan dirinya terhadap orang pilihan tersebut. Teetapi jika sesorang yang di temui makhlus halus tersebut yang di perintahkan untuk membuat tajahan maka pemberian nama tajahan itu sesuai dengan nama si pembuatnya, misalnya: tajahan Ohong, yang bertenpat di Kuala Kurun.

Mengenai penghuni dari tajahan tersebut, baik dari tajahan yang lahir secara murni dan lahir dengan perbuatan manusia sendiri, di antara penghuni yang di yakini oleh suku dayak sendiri adalah: Nyaring Pampahilep, para suku dayak menganggap penghuni yang satu ini dengan Iblis, Jin dan Roh-roh gaib lainnya yang di yakini sebagai sosok yang mau membantu para penduduk jika di mintai pertolongan, selain itu yang paling utama menurut suku Dayak penghuni itu tajahan adalah Antang.

Suku dayak juga meyakini tentang kabulnya harapanyang teah di minta mereka teerhadap Antang tersebut yang beertemppat di Tajahan, tetapi mereka juga beranggapan bahwa tidak semua Tjahan ada Antangnya, hanya tajah tertentu saja yang ada Antangnya. Seluruh penghuni tajahan yang berupa roh-roh semuanaya adalah jahat tidak terkacuali Antang yang suka menolong manusia, selain itu jika saja manusia tidak memberi sesajen kepadanya maka Antang akan memberikan malapetaka kepada manusia tersebut selian itu jika tempat mereka (Tajah) di gangguu atau di rusak maka Antang akan memberikan malapetaka juga kepada manusia.

Kerusakan Tajahan bagi suku Dayak adalah sangat di takutkan, oleh karena itulah suku Dayak jika ada keruusakan atau ada yang merusak Tajahan maka akan di adakan denda dan kkemudian di adalah upacara permohonan ampun terhadap penghuni tajahan tersebut, dan uniikknya, penghuni tajahan tersebuut konon katanya makanannya adlah darah mentah.

The human heart of Borneo

© WWF-Canon / Alain COMPOST
Mirroring the island’s natural diversity and the tides of change that have swept through over the centuries, Borneo’s people are a mosaic of culturally distinct indigenous groups scattered across the landscape.
This fascinating make-up has been shaped by internal warfare, shifts in settlement and centuries-old trading relationships. 

An estimated 18 million people live on the island, with the majority based in the coastal lowlands and cities. The forests of the Heart of Borneo area are of high value for people’s livelihoods and the environment. There is a strong interdependence between Indigenous Peoples and the resources as well as the services the forest provides.

The peoples of the Heart of BorneoThe indigenous peoples of the Heart of Borneo are commonly known as Dayak. The term was coined by Europeans referring to the non-Malay inhabitants of Borneo. 

There are over 50 ethnic Dayak groups speaking different languages. This cultural and linguistic diversity parallels the high biodiversity and related traditional knowledge of the Heart of Borneo.

Diverse Dayak languagesMany of Borneo’s languages are endemic. It is estimated that around 170 languages and dialects are spoken on the island of Borneo and some by just a few hundred people, thus posing a serious risk to the future of those languages and related heritage.

Cultural tradition and artsBorneo culture and art are reflected and expressed through custom, dance and music, food and drink, and even tattoo.

Tattoos
Traditional tattooing has been customary among men and women in several groups of Dayak Peoples. They use motif designs of snakes, birds and plants, sometimes combined, to symbolise meanings such as bravery, patience and beauty. The motifs are symbolic of the social class, and of individuals of a certain social standing that are allowed to be tattooed with particular motifs.

Dance
The traditional Dayak hornbill dance is named after the bird with a big casque, long down-curved bill and black and white feathers. The hornbill is both an important species and cultural symbol for Dayak peoples.

The hornbill dance, the most well-known traditional Dayak dance, is performed in stylised movements of the arms to resemble a flying hornbill. Both men and women wear an adorned headdress, women dancers hold hornbill feathers tied to their hands which will open up when the hands move, while men dancers will hold a shield and a ritual knife. The dance is usually accompanied by sape music.

Originally, dances were performed as part of a post-warfare ritual, to greet returning warriors who fought the enemy or came back from successful head-hunting expeditions. Nowadays, dances are commonly featured during the rice harvest season, New Year and other celebrations, or to greet important visitors to the community.

Music
The sape’, (also known as sampe or sapeh), is a traditional lute played by many of the Dayak communities in the Heart of Borneo during celebrations, like harvest festivals (gawai) and rituals. One string carries the melody and the accompanying two strings are struck rhythmically to produce a drone.

Community livingSome Dayak people once lived mostly in massive communal structures known as longhouses. These could be up to 12 metres high and house over 100 families under one roof, affording safety from attacks during times of warfare. Inside, families lived in separate apartments arranged along a central corridor, which served as a communal area. 

While some groups still live in longhouses, many have moved into individual houses – either because of government pressure or because inter-tribal warfare has stopped.

Managing natural resources – traditional knowledgeFor centuries, the Dayak indigenous people in the Heart of Borneo have managed the forests in sustainable ways. Their practices, supported by customary regulations and traditional knowledge, have contributed to the maintenance and preservation of the rich and extraordinary biodiversity of the Heart of Borneo.

Communities living in the interior of Borneo are still largely regulated by customary law or adat which govern their daily affairs and management of natural resources within their customary territory. 

Communities in the Heart of Borneo have long used zoning as a land management tool, where the forest territory of each village or settlement is divided into areas for non-timber forest product (NTFP) collection, hunting, agriculture (rice paddies and swiddens), gardens, old settlements and sacred sites.

Managing natural resources – Dayak customary regulationsLocal regulations specify the rates and means of collection of forest resources that stress sustainability and minimise stress to the environment. For example, there is emphasis on not wasting animals or forest products by collecting more than needed or harvesting them in ways that would hamper their future reproduction or growth.

All Dayak communities ban the use of chemicals and sophisticated technology for catching fish and only traditional tools like nets, rods and fish traps may be used. All customary regulations state that trees at the headwaters of rivers may not be cut and recommend that salt springs in the forest and common hunting grounds not be damaged.

Suku Dayak dan Keseimbangan

Odong Klerek – Damang Suku Dayak Siang Murung
"Kehidupan akan berjalan baik apabila terjaga keseimbangan antara manusia dengan alam semesta"

Pernyataan tersebut membuka perbincangan kami dengan Odong Klerek, Damang Suku Dayak Siang Murung, di Puruk Cahu Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Dalam struktur adat Dayak Siang Murung, Damang bertanggung jawab dalam bidang pengawasan dan penuntutan peradilan dalam upaya pelestarian lingkungan. Modernisasi di wilayah Kalimantan Tengah, tetap disoroti oleh Pelestari Adat ini agar tidak merampas kekayaan alam apalagi mengotori tempat-tempat yang menurut adat merupakan lokasi sakral.

Kadang sebagai manusia yang tak mengenal adat suatu daerah, kita bisa saja bertindak tak menghormati sakralitas suatu daerah. Damang Odong Klerek pernah menyampaikan protes kepada pemerintah karena pernah memberikan keleluasaan kepada investor asing untuk melakukan aktivitas menambang di kawasan situs budaya Puruk Kambang. [rivermapping]

Bagi masyarakat Dayak Siang, Puruk Kambang sangat disakralkan karena diakui sebagai tempat diturunkannya PUTIR SIKAN dengan Palanggka Bulou oleh Mohotara Lobata atau Ranying Hatalla Langit Panganteran Bulan Raja Tuntung Matan Andau, yang menjadi cikal bikal suku Dayak Siang di pulau Kalimantan sebelum terbentuk negara Indonesia. 

Sikap tegas masyarakat adat amat penting dikuatkan oleh siapapun orang yang peduli akan kelestarian alam. Seperti kita ketahui, di nusantara ini banyak sekali masyarakat adat yang berjuang untuk mempertahankan tradisi dan kelestarian budaya leluhur. Perkembangan suatu daerah di nusantara ini umumnya sering tak mengindahkan kesucian adat dan tanah leluhur, akhirnya negara dengan investor dari Luar dapat melakukan eksploatasi alam yang mengancam keseimbangan.

Kekhawatiran tersebut juga pernah disampaikan oleh Mursyid, Wakil Jaro Tangtu Tujuh desa Cibeo, Baduy Dalam. Saat aku bercengkrama dengannya pada November 2008, ia menyampaikan kegelisahannya tersebut dan menyeru agar semua masyarakat adat di nusantara berani mempertahankan tradisi leluhur sehingga dapat terlepas dari bencana, yang dipercaya sebagai murka sang penguasa alam.

Sepotong Jalan Rusia dan Impian Soekarno

Jalan aspal itu lurus dan mulus. Tak ada guncangan ketika mobil melaju kencang di atasnya. Ini berbeda dengan jalan trans- Kalimantan dari Nunukan, Kalimantan Timur, hingga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang penuh lubang dan bergelombang.

Warga setempat mengenal jalan itu sebagai Jalan Palangkaraya-Tangkiling. Namun, Gardea Samsudin (70) mengenangnya sebagai Jalan Rusia.

Samsudin, lelaki asal Bandung, Jawa Barat, adalah sedikit saksi yang tersisa dari sepotong jalan sepanjang 34 kilometer dengan lebar 6 meter yang dibangun oleh para insinyur dari Rusia—dulu The Union of Soviet Socialist Republics. Bersama puluhan warga Dayak, Samsudin dan ratusan orang Jawa lain bekerja di bawah arahan belasan insinyur Rusia. ”Saya ikut menyusun batu-batu yang menjadi fondasi jalan ini,” kata Samsudin yang kini menetap di Palangkaraya.

Tak gampang mencari saksi lain pembangunan Jalan Rusia yang mau bicara. Sabran Achmad (80), tokoh masyarakat Kalteng, menuturkan, banyak pekerja yang ikut membangun Jalan Rusia itu menyembunyikan diri. Ini tidak lepas dari politik Orde Baru yang memberi stigma hitam kepada sesuatu yang berbau Orde Lama. Dan, jalan yang dibangun oleh insinyur Rusia itu memang berasal dari era Soekarno, yang dekat dengan negara Blok Timur itu tahun 1950 hingga 1960-an.

”Jalan itu dibangun menandai pembangunan Kota Palangkaraya. Sebelumnya, jalan itu berupa hutan lebat. Pohon-pohonnya besarnya segini,” kata Sabran sambil melingkarkan kedua lengannya.

Mimpi Soekarno

Pada mulanya adalah ayunan kapak Presiden Soekarno pada sebilah kayu di Pahandut, Kampung Dayak, di jantung Kalimantan, 17 Juli 1957. Sebilah kayu yang dibelah itu menandai pembangunan kota baru yang diimpikan Soekarno. Kota baru ini kemudian diberi nama Palangkaraya yang berarti tempat suci, mulia, dan agung, yang didesain sebagai ibu kota Indonesia Raya.

Namun, mimpi Soekarno tak pernah jadi kenyataan. Palangkaraya saat ini hanyalah sebuah ibu kota Provinsi Kalteng yang gelap dan tak bergairah karena kekurangan pasokan listrik.

Dirancang sebagai ibu kota negara, awalnya Palangkaraya dibangun dengan konsep yang jelas. Ada pengelompokan fungsi bangunan yang memisahkan fungsi pemerintahan, komersial, dan permukiman. Tata kotanya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungai.

Sungai Kahayan menjadi pusat orientasi di sebelah utara kota. Sebuah jalan darat dibangun di pusat kota menuju arah Sampit. Jalan itulah yang kini dikenal sebagai Jalan Rusia, ruas jalan nasional terbaik sepanjang jalan trans-Kalimantan yang dilalui Tim Jelajah Kalimantan Kompas bersama Departemen Pekerjaan Umum (PU). ”Kita tak pernah lagi membangun jalan sebaik Jalan Rusia yang masih mulus walau sudah puluhan tahun. Lihatlah, jalan-jalan lain di Kalimantan yang baru dibangun cepat sekali rusak,” kata Wibowo, staf Departemen PU anggota Regional Betterment Office VII Banjarmasin.

Menggali gambut
Sepotong jalan itu menjadi saksi kemahiran insinyur-insinyur Rusia membangun jalan di tanah yang sangat berbeda kondisinya dengan negara asal mereka. Sabran mengisahkan, semua gambut di tapak jalan dikeruk. ”Setelah gambut dikeruk, terciptalah alur seperti sungai. Lalu, alur itu diisi batu, pasir, dan tanah padat,” kata Sabran.

Pada 17 Desember 1962, pembangunan fondasi Jalan Rusia selesai. Pada tahun-tahun berikutnya, tinggal pembuatan drainase, pengerasan, dan pengaspalan. Pekerjaan yang lambat, tetapi hasilnya prima.

Namun, pembangunan jalan yang direncanakan sepanjang 175 kilometer melewati Parenggean lalu ke Sampit dan Pangkalan Bun kemudian menghubungkan Palangkaraya dengan pelabuhan-pelabuhan sungai menuju ke Jawa ini dihentikan awal tahun 1966. Ketika itu jalan yang terbangun baru 34 km.

Pergantian kekuasaan pasca-Gerakan 30 September 1965 membuat orang-orang Rusia bergegas meninggalkan Indonesia. Semua pekerja proyek menyembunyikan diri karena tak ingin disangkutpautkan dengan Rusia, Partai Komunis Indonesia, atau bahkan Soekarno.

Cerita pembangunan Jalan Rusia itu pun tamat. Segala yang berbau Rusia dihapus, termasuk ilmu pembangunan jalan yang diajarkan insinyur mereka di ruas Palangkaraya-Tangkiling. Pembangunan jalan di Kalimantan tidak pernah lagi dimulai dengan mengeruk gambut. Namun, cukup dengan fondasi berupa kayu galam yang ditancapkan di lahan gambut itu (fondasi ini dikenal sebagai cerucuk). Pembangunan jalan menjadi lebih murah dan cepat, tetapi konstruksi jalan tidak awet.

Kepala Bidang Bina Marga Dinas PU Provinsi Kalteng Ridwan Manurung menuturkan, secara teori, ruas Palangkaraya- Tangkiling yang dibangun Rusia itu yang benar. ”Saat membuka trase jalan, harus diperhatikan struktur tanah dasar, fondasi, dan lapisan penutupnya. Jika ada tanah humus, harus diganti dengan pasir, tanah padat, atau granit. Sedalam apa pun gambutnya, harus dibuang,” katanya.

Menurut Wibowo, pembangunan jalan dengan teknik Rusia itu membutuhkan biaya tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan teknik yang dilakukan dengan cerucuk, seperti yang sekarang kita buat. ”Namun, umur jalan dengan teknik Rusia itu bisa lima kali lipat dari jalan kita,” katanya.Bangsa ini sepertinya memang suka yang instan. Cepat selesai, cepat pula hancur.

Pang Suma, Panglima Perang dari Meliau

Nama Pangsuma merupakan nama besar di Kabupaten Sanggau, menjadi sebuah goresan sejarah karena Pangsuma merupakan tokoh pahlawan. Meski demikian, nama ini ternyata terdengar asing di telinga masyarakat Kabupaten Sanggau, padahal Pangsuma cukup tenar dan terkenal di Kota Pontianak.

Di Kota Pontianak sendiri, nama Pangsuma menjadi populer karena menjadi icon dan terpampang besar sebagai nama tempat atau gedung olah raga atau sering disebut GOR Pangsuma.

Kegigihan seorang Pang Suma melawan tentara Jepang pada tahun 1945 telah membakar semangat masyarakat Kalbar yang lain ketika itu untuk mengusir penjajahan Jepang.
Informasi kematian salah satu pejuang Kalbar dan Panglima Perang ini, tidak menyurutkan para anggota Perang Majang (pasukan pimpinan Pang Suma) saat itu untuk melanjutkan perjuangan.
Mereka justru bergelora untuk mengusir Jepang dari Bumi Kalimantan Barat. Seperti di Ngabang yang dipimpin Panglima Batu, di Sanggau oleh Panglima Burung serta di Ketapang oleh Panglima Banjing dan Pang Layang.

"Mereka lakukan agar Jepang mengakhiri kekejamannya dan pergi dari Kalbar," tutur Peneliti Sejarah pada Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Kalbar, Dra. Juniar Purba.
Pang Suma adalah tokoh pejuang dari suku Dayak yang tinggal di Dusun Nek Bindang di tepian Sungai Kapuas Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau.

Anak ke-3 dari 6 bersaudara ini memiliki nama asli Bendera bin Dulung. Namun ada pula yang menyebutnya Menera. Arti nama Pang Suma sendiri adalah Bapak si Suma. Panggilan dengan mengguakan Pang merupakan satu kebiasaan penduduk setempat memanggil nama orang tua dengan menyebut nama anaknya yag paling besar. Ini dikarenakan agar lebih sopan daan hormat dari pada menyebut nama langsung orang tersebut.

Menjelang akhir hayatnya, ia telah mendapatkan pertanda buruk. Ujung Nyabur (pedang) yang dimilikinya patah, sebelum ia menyerbu markas Jepang di Kantor Gunco (Camat) Meliau pada 17 Juli 1945.
Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari Panglima Perang ini. Namun, disaat menahan kesakitan itu, ia sempat berpesan kepada rekan seperjuangannya yang membopongnya dari lokasi perang.
"Tinggal aja aku disito uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang," pesan Pang Suma dalam bahasa Dayak seperti yang dikutip dari "Pangsuma Riwayat Hidup dan Pengabdiannya" yang artinya tinggalkan saja saya di sini saya tidak bisa hidup lagi pergilah kamu maju terus berjuang.

Perjuangannya adalah pengorbanan yang patut dijadikan berikan apresiasi bagi masyarakat Kalbar dan pemerintah meskipun dia dan keluarganya tidak mengharapkan imbalan apapun.
Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan pengorbanan pahlawannya. Sehingga tentunya patut diberikan. Dan generasi mendatang wajib mencontoh dan mengambil hikmah yang telah dikorbankan Pang Suma dalam membela bangsa dan tanah air.

Gajah Mada Keturunan Dayak

Soal nama Gajah Mada menurut masyarakat Dayak di Kalbar perlu diketahui bahwa Gajah Mada bukan orang Jawa, ia adalah asli orang Dayak yang berasal dari Kalimantan Barat, asal usul kampungnya yaitu di Kecamatan Toba (Tobag), Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat (saat ini).

Banyak masyarakat Dayak percaya bahwa Gajah Mada adalah orang Dayak, hal itu berkaitan dengan kisah tutur tinular masyarakat Dayak Tobag, Mali, Simpang dan Dayak Krio yang menyatakan Gajah Mada adalah orang Dayak. Ada sedikit perubahan nama dari Gajah Mada pada Dayak Krio menjadi Jaga Mada bukan Gajah Mada namun Dayak lainnya menyebutnya dengan Gajah Mada.

Sebutan itu sudah ada sejak lama dan Gajah Mada dianggap salah satu Demung Adat yang hilang. Ada kemungkinan ia diutus Raja-Raja di Kalimantan. Ia berasal dari sebuah kampung di wilayah Kecamatan Toba (saat ini). Hal itu dibuktikan dengan ritual memandikan perlengkapan peninggalan Gajah Mada setiap tahunnya. Gajah Mada dianggap menghilang dan tidak pernah kembali ke Kalimantan Barat.

Kisah yang memperkuat bahwa ia memang asli Dayak dan berasal dari Kalbar yaitu ia adalah seorang Demung Adat dibawah kekuasaan Raja-Raja di Kalimantan. Ia seorang Demung dari 10 kampung yang ada, namun setelah dia menghilang entah kemana, kampung tersebut kehilangan satu Demung Adatnya sehingga Demung Adat di wilayah itu tinggal 9 orang saja lagi.

Kisah ini sampai sekarang masih dituturkan oleh kelompok masyarakat Dayak ditempat asalnya Gajah Mada. Bukti-bukti tersebut sangat kuat dan bisa dibuktikan sebab Kerajaan tertua letaknya bukan di Jawa tetapi justeru di Kalimantan sehingga unsur Hindu lebih mempengaruhi setiap sikap dan tata cara hidup dan Hindu pun lebih dulu ada di Kalimantan bukan di Jawa. Alasan ini sangat masuk akal bahwa pengaruh Hindu di Jawa sangat dipengaruhi oleh kerajaan Kutai di Kalimantan dan kemungkinan Gajah Mada adalah orang kuat yang diutus kerajaan Kutai untuk menjajah nusantara termasuk Jawa.

Dalam kisah Patih Gumantar Dayak Kanayatn (Dayak Ahe) Kalimantan Barat bahwa Patih Gajah Mada adalah saudaranya Patih Gumantar, mereka ada 7 bersaudara. (Baca Buku, Mencermati Dayak Kanyatan)

Satu lagi soal nama Patih Gajah Mada bahwa gelar Patih itu sendiri hanya ada di Kalimantan khususnya Kalbar dan satu-satunya patih di Jawa adalah Gajah Mada itu sendiri, tidak ada patih lain dan itu membuktikan bahwa gelar “Patih” berasal dari silsilah kerajaan di Kalimantan bukan dari Jawa.

Mustika Rantai Babi Khas Dayak


Di kalangan pencinta ilmu hikmah dan ilmu metafisik tentu saja, untuk mustika yang satu ini sudah tidak asing lagi di telinga mereka, mutika tersebut bernama Rante Babi , dahulu kehebatan daya gaib fari rante babi ini sempat mengguncang dunia supranatural. Yang konon kabarnya mustika rante babi ini memiliki manfaat dan kegunaan yang sangat luar biasa , adapun manfaat antara lain ‘ bisa di gunakan menarik dana gaib, bisa untuk kekbalan, bisa untuk mengelabui pandangan mata orang dll.

Rante Babi menuruk kabar konon ajian tersebut berasal dari dayak, dan bisa dibilang sebagai ajian kahs suku dayak. mustika rante babi ini bisa di bilang sebuah mustika yang sangat luar biasa karena dari khasiatnya yang sudah tidak di ragukan lagi, namun demikian untuk mendapatkan ajian ini bisa di bilang tidak mudah, karena bagi orang yang ingin mendapatkan ajian ini paling tidak harus morogoh kocek atau mengeluarkan uang sampai miliaran rupiah, Namun menurut kabar mustika rante babi hanya bisa di gunakan di tanah Kalimantan dengan artian jika pemilik mustika rante keluar dari bumi Kalimantan maka akan tidak memiliki fungsi, menurut sebuah sumber jika ada seorang pintar yang menjual belikan mustika rante babi di tanah jawa maka kita bisa mempertanyakan ke asliannya mustik rante babi tersebut.


Dengan melihat sebuah fenomena dari mustika rante babi tersebut ndoro panji , seorang sesepuh dari keraton Surakarta, dan beliau juga pernah tinggal di daerah wilayah Kalimantan, beliau juga menyarankan bagi mereka yang sering melakukan pemburuan mustika rante babi di tanah jawa agar menghentikan pemburuannya, karena menurut ndoro panji, pemburuan tersebut hanya akan mendapatkan hasil yang sia sia, karena sudah banyak orang yang menghabiskan banyak uang dan tenaga untuk mendapatkan mustika rante babi konon tak kunjung mendapatkannya, konon pencarian mustika rante babi yang mereka lakukan hanya semata mata tertarik dengan harga yang menggiurkan.

menurut pendapat para ahli ilmu hikmah serta ilmu kebatinan, mustika rante babi sangat sulit sekali jika harus di keluarkan dari bumi Kalimantan kerena memiliki larangan untuk menyebrangi laut, dan masih menurutnya jika mustika ini di bawa denga menggunakan pesawat terbang maka dengan sendirinya mustika rante babi itu akan menghilang dengan sendirinya. Adapun kalo pantangan tersebut di langgar maka kemungkinan daya mustika rante babi akan terserap oleh daya laut, akan tetapi masih untung jika kapal tersebut tidak ikut tertarik kedalam nya.

Ndoro Panji menuturkan, berdasarkan informasi yang di dapatkan dari seorang pakar ilmu hikmah suku dayak ( Balian ). Mustika rante babi berasal dari siluman Babi yang berasal di daerah pedalaman wilayah Kalimantan. Di antara kelompok babi ada salah satu babi yang taring nya menonjol kekuning kuningan, tubuh nya kecil, dengan bulu putih melngkar di lehernya, dan juga yang di sebut dengan rajanya babi hutan.

Berdasarkan penuturan Ndoro Panji, yang didapat dari seorang Balian (pakar supranatural Suku Dayak, red) ajian Rante Babi berasal dari siluman babi di pedalaman hutan Kalimantan. Di antara kelompok-kelompok babi, ada salah satu babi yang tubuhnya lebih kecil dengan bulu putih yang melingkar di leher. Taringnya lebih menonjol dengan warna kekuning-kuningan.
Inilah yang disebut dengan rajanya babi hutan, raja babi hutan ini tidak mempan senjata tajam serta peluru sekalipun.

Mustika rante babi merupakan merupakan sebuah bawaan dari raja babi hutan yang telah di susupi oleh daya kekuatan gaib atau para lelembut yang berada di sekitar pedalaman Kalimantan, maka dengan demikian raja babi hutan menjadi pemimpin di antara kelompok babi, karena telah memiliki kekuatan yang sangat magis tersebut.

Mustika Rante babi biasanya berbentuk urat yang melingkar serta elastis, sebelum jatuh ketangan manusia, biasanya rante babi melingkar melingkar di taring kanan dan kiri Raja babi hutan ( siluman babi ) , mustika rante babi ini sangat elastis , sehingga bisa di gunakan pada lengan maupun kaki si pemakainya bahkan jika hendak di gunakan pada jari tangan pun bisa pas.

Ndoro Panji mengingatkan,biasanya khasiat mustika Rante Babi akan dapat terlihat serta memberikan manfaat manakala ada kesesuaian aura antara benda tersebut dan sipemakainya, .biasanya orang yang mengenakan mustika rantai babi akan tahan terhadap senjata tajam maupun peluru. Bahkan kuku serta rambutnya tidak akan mempan oleh senjata apapun. Namun demikian tidak mudah untuk mendapatkan khasiat mustika rante babi tersebut.

Ndoro Panji mengingatkan bahwa Rante Babi yang beredar di tanah Jawa tidak dapat di pertangung jawabkan keasliannya, karena mustika rante babi ini tidak bisa keluar dari wilayah bumi leluhurnya, maka untuk para pemburu rante babi di tanah jawa agar lebih berhati hati lagi dalam pemburuan rante babi tersebut, biasanya untuk mengetahui khasiat yang terkandung dalam musika rante babi di butuhkan proses khusus untuk mengetes daya magis yang terkandung di dalalamnya.

Berbagi kisah tentang Panglima Burung dari Dayak

Dalam masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib. Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan. Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima oleh orang Dayak pedalaman.

Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok ini, terutama setelah namanya mencuat saat kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh masyarakat Dayak yang telah tiada, namun dapat rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan. OLDUE.COM

Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.

Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung. Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.

Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.

Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama yang dibawa oleh para pendatang. Riuh rendah tak berubah menjadi ketegangan di ruang yang lingkup–yang oleh orang Dayak Ngaju disebut Danum Kaharingan Belum.

Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, atau rokok dengan mereka.

Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah. Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan, dan 
mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal yang penting atau mendesak.

Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu, dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Mereka yang tadinya orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yang apapun bentuk dan alasannya–entah itu balas dendam, ekonomi, kesenjangan sosial, dan lain-lain–tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mata dibalas mata hanya akan berujung pada kebutaan bagi semuanya. Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati orang Dayak. 

Orang dayak itu putih2 lugu seperti orang badui di ujung kulon terbuka dan ramah2.Tapi kalo dah perang .....kacau

ngayu ..
kepercayaan suku di dayak ngumpulin kepala orang agar roh orang itu menjaga suku kaumnya, rambut yg dikumpul di tarok di belakang gangang goloknya makin tebal makin sakti dan gengsinya makin tinggi pula... ya ini tradisi jaman dulu yg dilarang waktu pemerintahan Belanda. Sebenarnya ini khasanah budaya kita.
Seperti orang di perbatasan papua nyolong orang buat di makan..
Masih animisme.....tentu serem bangeeeet.

Kalo boleh cerita sih ...
Panglima Burung Pimpinanya Wanita dan terbang menembus hutan Formasi seperti segi tiga makin ke belakang makin banyak...
Mata badan seperti logam tidak ada bulatan hitam
Ini diliat live wartawan teman adik yg meliput kesana waktu itu maaf ...orang m*** mengungsi ke markas tni supaya tidak mendekat pihak piket melontarkan peluru ...orang dayak itu tidak ada yg roboh sepertin tidak terjadi apa2.....tapi para penyerang tdk jsampe masuk...
Dan waktu die naik bis pernah juga sekelebat mandau terbang di dalam bis dan tepat mengena orang tertentu didalam bis... ini yg buatnya stress...
wilayah yg di lewatin ikut gabung

Mangkok merah di tuang sekeliling kampung dan di sungai, orang yg bukan keturan dayakpun pasti terasuki hawa perang bahkan bisa lebih gila lagi ini cerita orang2 melayu yg kena bahkan darah korban di minum, setelah kerusuhan reda maka banyaklah orang melayu yg stress karna perbuatan mereka dulu.....Dan suku di hulu sungai pasti tau orang yagn di hilir kirim berapa orang untuk perang sedangkan yg nuang makok orang yg di hilir...aliran sungai dari hulu ke hilir. Dan janjinya menyerang pasti diserang makanya kudu mengungsi....

Waktu konfrontasi sama malaysia.. malaisia memekarkan wilayah wilayah suku dayak terkena.
Malaysia menurunkan Pasukan, pasukan di pinjam dari Inggris yaitu pasukan elit dunia GURKA (orang2 keahlian berperang asal wilah tibet sekutunnya ingris).
Kali ini pasukan malasia itu kalah sama orang dayak. dengan senjata sederhana mandau....he..he

Dan pada kedatangan Sultan Sambas sempat perang ...tapi tidak kontak
Palima burung dengan ilmu tertingginya dan pasukan sedang terbang di hutan menyerang kesultanan Sambas dengan ayat Kitabullah kalo ngk salah ayat qursy...rontoklah pasukan tersebut maka mereka takluk sama Kesultanan Sambas....karna ngak sempat kontak tidak terjadi pertumpahan darah makanya orang melayu dan dayak akur2 aja.

Kalo cerita livenya sih saudaraku yg berguru sampe ilmu terakhir digunung semunya angka 3. 3 bulan cari guru dan gurunyapun 3 orang temanya dah cukup pulang tapi saudaraku tetap pingin berguru lagi maka nunjuk di gunung itu ...singkat cerita setelah berguru denga seorang digunung 3 hari kemudian gurunya meninggal. dapet oleh2 mandau titiknya aku lupa 3 atau 4
titik atau berapalah tapi yg jelas besinya seperti baja putih. di titk mandau ini bukan banyaknya2 korban tetapi logam2 lain yang di tanam di mandau itu dan mata sebelah seperti pahat kalau 2 belah seperti parang biasa ya buat kekebun katanya....
Banyak juga ceritanya ada lagi tiupan seperti seruling untuk memanggil pasukan itu (panglima Burung). Ini yg di lakukanya waktu pembersihan ilmu di rumah kebetulan saudara yg lain ingin membuangnya perlu tahunan..karna bawaanya galak melu2..
lama nyari ilmunya dan lama juga membuangnya kalo ditanya apa hasilnya ZIRO kanya 0 besar....he..he ya saya maklum karna ia orang kecil yg kerja di tempat yg keras ABK kapal...
Salah satu kekhasan suku Dayak adalah adanya seseorang Raja Dayak yang di kenal sebagai Raja Hulu Aiq (RHA). Tidak seperti raja yang lain, RHA tidak mempunyai kekuasaan politis; beliau bukanlah seorang raja dengan pemerintahan feodal. Pada kenyataannya, RHA tidak mempunyai pemerintahan sama sekali. Beliau adalah pemimpin spiritual tertinggi orang Dayak. Wilayahnya disebut Desan Sembilan Demung Sepuluh, akan tetapi bukan dalam arti wilayah sebuah negara. Wilayah tersebut lebih menunjukkan ikatan kultural yang mengakui beliau sebagai pemimpin adat tertinggi. Orang Dayak di wilayah Desa Sembilan Demung Sepuluh percaya bahwa RHA adalah orang yang ditakdirkan untuk menjamin nasib baik suku Dayak, terutama dalam kaitannyadengan kegiatan pertanian. Oleh sebab itu, penghormatan khusus selalu diberikan kepada RHA dengan menyebut namanya dalam setiap doa yang dilakukan orang Dayak dalam ritual-ritual.

Wilayah Desa Sembilan Demung Sepuluh sebenarnya meliputi seluruh pulau Kalimantan, termasuk Sarawak, Sabah dan Brunei Darussalam. Sembilan Desa tersebut adalah:
1. Buliq-Belantiq (sekarang di propinsi Kalimantan Tengah)
2. Puring-Katingan (juga di Kalimantan Tengah)
3. Kayung-Tayap (di Kabupaten Ketapang, KalBar)
4. Jalai-Pesaguan (di Kabupaten Ketapang, KalBar)
5. Jekaq-Laur (di Kabupaten Ketapang, KalBar)
6. Bilhaq-Krio (di Kabupaten Ketapang, KalBar)
7. Desa Darat Pantai Kapuas (sepanjang sungai Kapuas dan anak sungainya)
8. Mahap-Sekadau (sekarang Kabupaten Sanggau)
9. Sabah-Serawak (sekarang di Malaysia, termasuk Brunei Darussalam).

Darah Dayak di Madagaskar?

Etnis Malagasi yang kini menempati Madagaskar ternyata berasal dari rahim 30 perempuan yang terdampar di daerah itu pada 1.200 tahun lalu. Di antara 30 perempuan itu, 28 perempuan di antaranya berasal dari Indonesia.

Murray Cox, peneliti genetika dari Massey University, Selandia Baru, tertarik dengan penelitian yang menyatakan bahwa darah Dayak mengalir di tubuh penduduk Madagaskar. Disebutkan satu milenium lampau sekelompok etnis asli Kalimantan berlayar menggunakan perahu di Samudra Hindia. Kencangnya ombak di perairan luas ini mendorong perahu hingga terdampar di Madagaskar yang tak berpenghuni. 

Kelompok yang terdampar tersebut kemudian membuka lahan di dataran tinggi untuk dijadikan permukiman dan sawah. “Kami berbicara mengenai satu budaya yang berpindah tempat melintasi Samudera Hindia," katanya kepada LiveScience. 

Bukti etnis Dayak sebagai pemukim pertama Madagaskar kini masih terawetkan pada tiga suku yang berdiam di dataran tinggi, yaitu Merina, Sihanaka, dan Betsileo. Ketiganya masih berkomunikasi menggunakan bahasa yang mirip dengan bahasa Barito yang banyak dipakai di Kalimantan bagian selatan.

Pertanyaan yang masih tersisa di benak peneliti ini adalah seperti apa kontribusi genetik pemukim pertama ini terhadap penduduk Madagaskar saat ini. Untuk mengetahuinya, dia mempelajari gen yang didapat dari mitokondria 300 penduduk Madagaskar dan 3.000 penduduk Indonesia. 

Pemilihan mitokondria disebabkan dapur energi pada sel ini menyimpan gen yang diturunkan oleh ibu. Sampel gen memperlihatkan kemiripan antara genom orang Indonesia dan Madagaskar.

Pekerjaan berikutnya adalah mengetahui kapan dan bagaimana etnis dari Indonesia sampai di pulau tersebut. Simulasi komputer digunakan untuk menelusuri silsilah genetik manusia Madagaskar yang hidup saat ini hingga ke masa lalu. 

Hasilnya memperlihatkan bahwa penduduk Madagaskar saat ini terhubung dengan 30 perempuan. Perempuan-perempuan ini diperkirakan menjadi pemukim pertama sekitar 1.200 tahun lalu, yaitu 28 perempuan Indonesia dan dua lainnya dari Afrika.

Dari penelitian lain diketahui kromosom Y yang diturunkan dari ayah menunjuk pemukim laki-laki pertama Madagaskar juga berasal dari Indonesia. Namun tak diketahui berapa banyak jumlah mereka.

Berdasarkan fakta bahwa pria dan wanita penduduk Madagaskar berasal dari Indonesia, Cox menduga jumlah laki-laki pertama di pulau ini relatif sedikit.

Dari hasil penelitian ini, dia yakin populasi etnis Dayak yang terdampar segera berkembang pesat dan menguasai pulau. Diperkirakan kelompok besar sudah tercipta dalam beberapa generasi saja.

Pertanyaan yang belum terjawab adalah kenapa pemukim pertama ini bisa sampai di Madagaskar. Ada kemungkinan mereka sampai di Madagaskar tanpa disengaja. 

Skenario yang mungkin terjadi adalah kelompok etnis Dayak berlayar dengan kapal yang sanggup menampung 500 orang. Di tengah samudra, kapal yang mereka tumpangi terbalik dan terdorong arus laut ke arah barat.

"Beberapa orang menyelamatkan diri menggunakan perahu cadangan," katanya.

Penumpang yang selamat inilah yang kemudian mendarat di Madagaskar dan mendirikan permukiman pertama di pulau tersebut.

DNA Orang Dayak Akan Diteliti

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman akan meneliti DNA orang Dayak. Tujuannya adalah untuk mengetahui relasi orang Dayak dengan Madagaskar.

Sebelumnya, telah terungkap lewat penelitian Murray Cox dari Massey University di Selandia Baru bahwa 30 perempuan Indonesia menjadi nenek moyang orang Madagaskar. Para perempuan tersebut datang ke pulau di Afrika itu sekitar 1200 tahun lalu.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman juga terlibat penelitian tersebut. Data genetik orang Indonesia yang dibandingkan dengan genetik orang Madagaskar, berasal dari 2.745 individu, di 12 pulau adalah hasil penelitian Eijkman. 

Prof. Dr. Herawati Sudoyo dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengatakan, bahasa orang Madagaskar mirip dengan bahasa Dayak Maanyan. Dengan demikian, diduga bahwa nenek moyang orang Madagaskar secara spesifik adalah orang Dayak Maanyan.

Penelitian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke depan bertujuan memastikan kaitan antara Dayak Maanyan dan Madagaskar. 

"Mulai minggu depan, kita akan lakukan penelitian awal. Kita akan ke kota banjarmasin, mengambil sampel DNA orang Dayak dan Banjar. Kita akan ambil sampel DNA semua orang dayak dahulu, tidak terbatas pada Dayak Maanyan, nanti akan kita lihat lagi," kata Herawati.

Sementara, penelitian yang lebih dalam akan dilakukan tahun depan dengan melibatkan pakar linguistik yang memahami bahasa Dayak Maanyan.

"Pertengahan tahun depan kita akan teliti lagi dengan mengajak pakar linguistik. Nanti kita akan bandingkan bagaimana kemiripan bahasa dengan kemiripan genetik," ungkap Herawati di sela seminar setengah hari bertema "Capacity Building in Wildlife Conservation and Forensic Genetics".

Sampel DNA akan diambil dari air liur dan darah. Sebisa mungkin, sampel DNA dari orang pure Dayak Maanyan bisa diperoleh. Analisis akan dilakukan pada DNA mitokondria. 

Menurut Herawati, penelitian DNA orang dayak tidak hanya bertujuan untuk memastikan kaitannya dengan orang Madagaskar, tetapi juga tertarik keragaman populasi dan penyakit, seperti resistensi terhadap malaria dan sebagainya.

Minggu, 21 Juli 2013

Sangomang & Raden Tunjung Membuat Guci

Adalah seorang raja, memerintah sebuah kerajaan bernama kerajaan Darat. Raja Darat mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Orang menamakan putri itu, Tuan Putri. Beberapa pemuda ternama telah mencoba untuk meminang. Namun tidak satupun yang diterima. 

Berita kecantikan tuan putri, rupanya tersebar sampai kahyangan. Pemuda dari kahyangan turun ke bumi, mencoba mengajukan pinangannya. Namanya, Manyamei Kajangga Hatuen Bulan. Manyamei Kajangga Hatuen Bulan, seorang 
pemuda tampan dan gagah. Tidak seorangpun dari sekian banyak pemuda sebelumnya yang menyamainya. Tanpa banyak alasan, pinangan itu diterima raja 

Darat. Dan pernikahan dilangsungkan, dengan suasana ramai sekali. Selang beberapa bulan setelah perkawinan. Manyamei ingin kembali ke tempat asalnya. Alasannya, ingin menjenguk keluarganya di sana. Ia berjanji tidak lama. Sebelum istrinya melahirkan, ia pasti sudah kembali. Waktu itu, Tuan Putri sedang hamil enam bulan. Berat hati Tuan Putri melepaskan suaminya. Namun setelah berulang kali Manyamei membujuk, akhirnya Tuan Putri setuju. 

Sebelum berangkat, Manyamei berpesan kepada istrinya. Yakni agar Tuan Putri, tidak naik ke atas loteng kamar tempat tidur mereka. Sekiranya Tuan Putri masih ingin hidup bersamanya, tolong agar pesan itu di patuhi. Kalau tidak, jangan menyalahkan ia. Kemungkinan akan hidup bersama lagi, sedikit sekali. Demikianlah pesan itu disanggupi istrinya. Pagi-pagi sehabis makan, Manyamei Kajangga Hatuen Bulan bersiap untuk berangkat. Istrinya yang masih curiga asal usul suaminya, ikut mengantar kepergian suaminya. Begitu Manyamei tiba di halaman istana, tiba-tiba ia lenyap begitu saja. Istrinya beserta orang lain yang menyaksikan kejadian tadi merasa heran. Barulah Tuan Putri yakin bahwa suaminya adalah pemuda asal bulan. Jadi sesuai dengan namanya Manyamei Kajangga Hatuen Bulan. 

Sepeninggal Manyamei suaminya, Tuan Putri sangat merasa kesepian. Setiap hari ia merindukan kedatangan Manyamei. Hitung-hitung saat melahirkan, tinggal beberapa bulan lagi. Dan ia sangat menyesal apabila waktu melahirkan, Manyamei tidak hadir. Dari hari ke hari perasaan rindu kepada suaminya semakin menjadi-jadi. Tanpa berpikir panjang, disuruhnya seorang pengasuhnya menyediakan tangga. Tuan Putri pun naik ke atas loteng. Hampir saja ia berteriak. Dilihatnya Manyamei ada di situ Cuma bentuknya, tidak seperti Manyamei yang sesungguhnya. Tubuh, mata, mulut, kaki, dan tangannya besar sekali. Bentuknyapun buruk sekali, dan sangat mengerikan. Cepat-cepat Tuan Putri turun. Apa yang dilihatnya tidak diceritakannya kepada siapapun. Dan bagi Tuan 

Putri adalah merupakan tanda tanya. ”Mungkinkah itu Manyamei sesungguhnya? Kalau memang benar, mengapa dia ada di sana? Padahal ia sendiri menyatakan bahwa ia pulang ke tempat asalnya?” Begitulah pertanyaan tadi bertubi-tubi di benaknya. Tetapi tidak satupun jawaban yang pasti. Dan saat bersalinpun tiba. Bayi yang lahir itu sangat aneh. Tubuhnya hanya sebelah. Dan laki-laki lagi. Tangannya sebelah, kakiknya sebelah, mata, hidung, mulut, dan seluruh tubuhnya semua sebelah. Mereka menamakan SILAI. Artinya separuh atau sebelah. 

Walaupun demikian, bayi tersebut tumbuh dengan subur sekali. Baru satu bulan saja, tubuhnya seperti bayi usia enam bulan. Pada usia enam bulan, Silai sudah pintar berbicara. Bahkan sudah pandai berjalan. Jalannya meloncat-loncat. 

Walaupun dengan tubuh hanya separuh, ia cukup tangkas. Ia senang bermain-main dengan anak yang besar-besar. Pada waktu berusia enam tahun, Silai sudah seperti remaja. Bagi penduduk seluruh kerajaan Darat. Silai menjadi buah bibir orang. Setiap yang melihat dia, pasti heran dan kagum. Suatu hari, Silai pulang dari bermain, sambil menangis. Dengan suara lemah lembut Tuan Putri ibunya menanyakan halnya. Dikiranya anak-anak yang lain telah memukul Silai. Menurut Silai, ia menangis karena merasa malu.teman-teman mengatakan bahwa ia tidak mempunyai ayah. Menurut mereka, ayahnya berasal dari bulan. Dan sekarang telah kembali ke tempat asalnya. 

Mendengar keterangan anaknya, dengan jujur Tuan Putri mengakuinya. Dan secara rinci, ia mengisahkan kejadian sebenarnya. Sampai ayah Silai kembali ke tempat asalnya. Dan sampai sekarang masih belum kembali. Suatu hari, Silai meramu beberapa potong bambu dan kayu gabus. Dari bambu dan kayu gabus itu, dibuatnya anak sumpitan banyak sekali. Kawan-kawannya membantu Silai membuatnya. Mereka bertanya-tanya hendak diapakan anak sumpitan sebanyak itu. Silai sendiri, tidak mau menceritakannya. Setelah lebih dari sepuluh hari, jumlah anak sumpitan tadi tidak terhitung lagi. Tumpukan anak sumpitan itu, diletakkan di halaman istana. Ibu dan kakeknya raja Darat, tidak memperdulikan pekerjaan Silai. Mereka enggan bertanya. Sebab kalau ditanyapun, Silai tidak mau menjelaskannya. Sehingga mereka tidak ubahnya seperti penonton saja. 

Setelah diperkirakan cukup, Silai dan teman-temannya berhenti. Pagi berikutnya, Silai mengundang seluruh temannya untuk menyaksikan akhir dari pekerjaan mereka. Silai turun dengan membawa sebuah sumpitan. Dan mulailah ia mengisi anak sumpitan ke dalam sumpitan tadi. Satu-satu anak sumpitan dibidik ke atas. Setelah satu lepas, secepatnya dimasukkan satu lagi. Sehingga anak sumpitan seperti bersambung antara yang satu dengan yang lainnya. Tangannya sungguh cekatan sekali. Hampir saja tidak kelihatan dia memasukkan anak sumpitannya. 

Seluruh penduduk tercengang-cengang melihat pekerjaan Silai. Mereka tidak dapat menduga, akhir pekerjaan itu. Terakhir, tinggal satu anak sumpitan lagi. Sekarang anak sumpitan yang sisa satu itu, tidak dimasukkannya. Secepat kilat tangannya menempelkan anak sumpitan itu ke ujung yang terakhir. Dan bersamaan dengan itu pula, tubuh Silai terangkat. Seperti memanjat pohon tangannya menangkap anak sumpitan tadi satu persatu. Tubuhnya semakin tinggi juga. Dan tidak lama kemudian Silai pun menghilang tidak kelihatan. Awan yang berarak di langit menutup pandangan orang-orang yang menonton. Masing-masing pulang dengan perasaan heran bercampur takjub. Semua bertanya-tanya dalam hati, seraya memperkirakan apa kesudahannya. Tersebutlah Silai sendiri, tahu-tahu sudah di langit ke tujuh. Dan ia sedang berada di tepi jalan raya. Dilihatnya cukup banyak orang lalu lalang, melewatinya. 

Satu persatu orang itu diamati. Untungnya, bahasa yang mereka pakai, sama dengan bahasa di bumi. Sehingga bisa dimengerti. Silai berharap mudah-mudahan orang yang sebanyak itu, ada yang menyebut nama ayahnya. Sulit baginya, sebab wajah ayahnya sendiri tidak dikenalnya. Lama Silai duduk sambil memperhatikan percakapan mereka. Tidak lama kemudian, Silai terkejut. Dia mendengar di antara mereka yang berjalan di belakang memanggil nama ayahnya. ”Mei! Manyamei Kajangga Hatuen Bulan! Jangan terlalu cepat! Tunggu aku dulu! Kata orang tadi. Dua tiga kali panggilan itu. Silai mencoba melihat, mana orangnya yang dipanggil dengan nama ayahnya. Tidak jauh dari tempat Silai duduk, dilihatnya laki-laki yang dipanggil menyahut: ”Yuk ..., cepat sedikit!” katanya. Tersirat darah Silai melihat laki-laki yang menyahut tadi. ”Orang inilah rupanya ayahku itu,” katanya dalam hati. 

Begitu laki-laki tadi melewati Silai, secepat itu juga ia menangkap kaki ayahnya. Dengan erat sekali, kaki itu dipegangnya seraya memanggil: Ayah! Ayah! Ini aku, anakmu! Katanya berulang kali. Laki-laki yang ditangkap kakinya tadi sangat terkejut. Dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan pegangan Silai. 

Tetapi tidak dapat. Malah Silai semakin memperkuat pegangannya. Berita tentang peristiwa tadi, sore itu juga tersebar ke seluruh kahyangan. Oleh para tokoh terkemuka, Raden Tungku (Ayah Sangomang), Raden Tanjung, Rahu, Telun, dan Maharaja Sangen, Nyamei dipanggil. Di balai sidang, perkara itu dibicarakan. Mula-mula, mereka minta Silai menceritakan hal ikhwalnya. Silai pun bercerita dari awal mula ayahnya kawin dengan ibunya, Tuan Putri. Waktu ibunya sedang hamil enam bulan, ayahnya Manyamei Kajangga Hatuen Bulan pulang menjenguk keluarganya di tempat asalnya. Ia berjanji kepada istrinya (Tuan Putri) ibu Silai, cuma sebentar. Dan pasti kembali lagi ke bumi sebelum melahirkan. Pada saat Silai lahir, bahkan sampai sekarang ayahnya Manyamei Kajangga Hatuen Bulan tidak pernah kembali lagi. Itulah sebabnya Silai nekad menyusul. 

Mendengar cerita itu, Manyamei Kajangga Hatuen Bulan dengan jujur mengaku. Dan ia yakin, bahwa anak itu, anak kandungnya. Manyamei minta maaf kepada para tetua. Namun para tetua masih mempersalahkan Manyamei. Sebab menurut keterangannya sendiri, ia belum membayar mas kawin istrinya. Oleh sebab itu, mereka mengutus Sangomang dan Raden Tunjung turun ke bumi. Mereka ditugaskan untuk membuat Guci atau yang disebut ”Balanga” untuk diserahkan kepada raja Darat. Yaitu untuk pembayaran mas kawin Tuan Putri istri Manyamei Kajangga Hatuen Bulan. Untuk pekerjaan itu, mereka meminta Petak Kasambungan (Tanah Berkat) untuk bahan campuran guci-guci yang akan dibuat nanti. Setiba di bumi, Sangomang dan Raden Tunjung melaporkan kepada raja Darat. Mereka meminta agar ditunjukkan sebuah bukit untuk diambil tanahnya menjadi bahan pembuat guci atau balanga 

Raja Darat menerahkan sebuah bukit namanya Bukit Tunjung kepada kedua orang tersebut. Sangomang dan Raden Tunjung pun berangkat ke sana. Namun sebelumnya, mereka minta, selama tujuh bulan, seorang pun tidak boleh mendatangi tempat itu. Kalaupun larangan itu dilanggar, maka resikonya jangan menyalahkan Sangomang berdua. Begitulah mereka berdua, mulai bekerja. Dari menggali tanah mencampurnya dengan Tanah Kasambuyan. Bertumpuk-tumpuk benda-benda itu, di sekeliling bukit. Sebagian masih belum dibakar. 

Suatu hari, Tuan Putri ingin melihat pekerjaan Sangomang dengan Raden Tunjung. Begitu, ia tiba di tempat kedua orang tadi bekerja, tiba-tiba terdengar suara menguruh. Bukit Tunjung seperti runtuh meletus. Tahu-tahu semua guci dengan berbagai jenis tadi berubah menjadi binatang. Bermacam-macam jenis hewan. Dari badak yang terbesar sampai dengan kancil yang terkecil. Melihat akan hal tadi dengan kesaktiannya, Sangomang berdua cepat membuat pagar. Agar binatang-binatang itu tidak keluar. 

Melihat kejadian tadi, dengan tangkas Tuan Putri menangkapnya. Yang tertangkap berubah langsung kembali asalnya. Yang tidak tertangkap tetap menjadi binatang hutan. Dan dari ujung pagar yang tidak sempat selesai itu, binatang-binatang tadi keluar. Dan tetap menjadi binatang sampai sekarang. Sangomang dan Raden Tunjung sangat marah. Rupanya manusia tidak setia kepada janjinya. Termasuk Raja Darat. Dengan perasaan jengkel Sangomang dan Raden Tunjung pulang ke kahyangan. Demikian pula Raden Tunjung. Ia pun menyuruh hambanya mengumpulkan sisa guci yang masih utuh. Hampir penuh ruangan istana oleh guci-guci dari berbagai jenis. Namun sedikit sekali, dibandingkan jumlahnya yang dibikin Sangomang semula. Walau demikian Raja Darat tetap gembira. Karena mas kawin anaknya Tuan Putri adalah harta kekayaan yang tidak dimiliki orang lain. 

Karena menyesal atas kehilangan guci tadi, Raja Darat memanggil kawannya Ratu Jampa. Beliau diminta oleh Raja Darat, membuat guci dengan contoh bikinan Sangomang dengan Raden Tunjung. Ratu Jampa pun setuju. Hanya saja dia tidak memiliki tanah kasambuyan sebagai bahan campuran. Dan mereka menamakannya balanga satengah. Artinya bukan yang aslinya. 

Demikianlah, setelah Raja Darat meninggal, seluruh harta kekayaan itu, dibagi-bagi kepada anak cucu beliau. Itulah pula sebabnya, maka benda-benda pusaka itu menyebar ke seluruh pelosok pulau Kalimantan. Dan menurut cerita orang tua, jumlah guci atau balanga yang asli hanya dalam jumlah terbatas. Di Kalimantan Tengah, pemiliknya hanya di tangan orang yang berada saja. Terkecuali guci bikinan Ratu Jampa, yakni guci yang baru atau ”balanga taheta.” 

Misteri Batu Tungadu

Ada sebuah riam yang sangat terkenal di Sungai Katingan. Riam tersebut adalah yang terbesar di Kalimantan Tengah namanya Riam Mangkikit. Pada riam tersebut ada sebuah tempat yang disebut Batu Tungadau. Batu tersebut dinamakan demikian karena di bawahnya terdapat lubang ikan tungadau, sejenis ikan hiu. 

Dari tempat inilah cerita ini berasal. Dahulu, di tengah Riam Mangkikit ada sebuah kampung kecil. Di kampung itu ada sebuah rumah keluarga yang besar (rumah betang) dan lima buah rumah biasa. 

Kampung ini dipimpin oleh seorang pemuda yang gagah berani. Namanya Mangkikit. Ia memang masih muda namun disegani semua orang. Sifatnya agak pendiam namun ia sangat pemberani menghadapi segala sesuatu. Hal ini dikarenakan tindakannya selalu didasari kebenaran. Bila kebenaran yang dibela ia rela mati untuk memperjuangkannya. Ia sudah mempunyai istri yang cantik jelita. Namanya Nyai Endas. 

Kecantikan perempuan ini terkenal ke seluruh daerah. Banyak lelaki muda yang sengaja bermalam di rumah betang hanya karena ingin melihat kecantikan Nyai Endas. Kehidupan sepasang suami-istri itu nampak bahagia. Walaupun sudah sepuluh tahun mereka belum dikaruniai anak, mereka tidak mengeluh dan tidak 
mengurangi rasa cinta kasih keduanya. Mereka hidup aman, tentram, dan damai. 

Pada suatu sore Mangkikit mempersiapkan peralatannya untuk berburu. Nyai Endas bertanya,”Kanda , kapan akan berangkat berburu?” ”Besok pagi-pagi benar.” jawab Mangkikit. Pagi-pagi sekali Mangkikit sudah bangun, lalu diambilnya sumpitan dan anaknya. Nyai Endas juga sudah mempersiapkan makanan dan penginangan untuk bekal suaminya. 

”Terima kasih istriku,”kata Mangkikit sembari menerima bekal pemberian Nyai Endas.” Kau baik-baik saja ya tinggal di rumah. Jangan pergi sebelum aku datang.” Mangkikit juga berpesan hal yang sama kepada kedua pembantunya yaitu lelaki setengah baya bernama Dungak dan seorang perempuan tua bernama Tambi Jongkong. 

”Jangan kuatir Tuan, saya akan menjaga Nyai Endas baik-baik,”kata Dungak dan Tambi Jongkong hampir bersamaan. Sepeninggal Mangkikit Nayi Endas masuk ke dalam kamarnya untuk mengayam tikar rotan. Dungak membelah kayu di belakang, Tambi Jongkong memasak di dapur. 

Siang hari, tiba-tiba terdengar pintu diketuk orang. Nyai Endas memanggil Tambi Jongkong untuk melihat siapa yang datang bertamu. Tambi Jongkong membuka daun pintu namun ia hanya berdiri terpaku saat melihat tamu yang datang. Lama Tambi Jongkong berdiri seperti patung, tak tahu  apa yang dikerjakannya. Baru setelah tamu itu menegurnya Tambi Jongkong tersadar. 

”Mangkikit ada?” tanya tamu itu. 
”Tidak ada Tuan, sudah pergi ke hutan sejak pagi tadi.” 
”Nah, kebetulan. Nyai Endas ada ’kan?” 
”Ya, ada. Silakan masuk!” 
Mendengar ucapan itu Nyai Endas yang berada di dalam kamar segera ke luar. Saat berada di ruang tamu ia tertegun. Tamu itu ternyata seorang leleki muda yang tampan dan gagah. Kumisnya tipis, tubuhnya kekar, kulitnya putih kuning dan tampak bersih, ada kain berwarna merah melilit di kepalanya. Ada mandau terselip di pinggang dan ia memegang tongkat. 

Entah karena pengaruh apa, setelah menatap sepasang mata lelaki itu, Nyai Endas seperti kehilangan kesadarannya. Ia berbicara dengan lelaki itu sambil berdiri. Tambi Jongkong masuk ke ruang dalam. Ia hanya sempat mendengar percakapan mereka lamat-lamat. 

Tidak berapa lama kemudianNyai Endas masuk ke dalam. Ia memberi isyarat agar Tambi Jongkong mengikutinya ke dalam kamar. Tambi Jongkong memanggil Dungak agar segera masuk rumah. Melihat tamu asing yang tidak dikenal Dungak nampak kurang senang, namun ia segara masuk ke dalam kamar karena Nyai Endas memanggilnya. 

”Dungak .... dan kau Tambi Jongkong, ” kata Nyai Endas. ”Aku tidak tahu kenapa aku tak berdaya menolaknya. Lelaki itu memaksaku agar aku mengikutinya pergi.” Darah Dungak seketika mendidih, secepat kilat ia menyambar Mandau, pusaka yang tergantung di dinding. ”Aku takkan biarkan orang asing itu membawa Nyai! Bukankah Nyai sudah bersuami?” 

Namun Nyai Endas menghalangi niat Dungak. Melihat ini Dungak terpaksa mengalah, walau hatinya tetap tidak terima atas perlakuan tamu tak dikenal itu. ”Jangan melawannya, tampaknya ia lebih kuat darimu. Kita tidak berdaya, jangan berkorban sia-sia. Begini saja .... nanti ka-takan kepada suamiku, Mangkikit.” kata Nyai Endas. ”Bahwa aku tetap mencintainya. Jika aku nanti ke luar rumah ikutilah dengan mata kalian kemana arahku pergi. Setelah itu katakan kepada Mangkikit agar ia menyusulku.” 

Dungak dan Tambi Jongkong mengangguk dengan hati sedih. Sesudah itu Nyai Endas menyiapkan barang bawaannya. Kemudian ia pun ke luar bersama laki-laki itu. Dari betang mereka berdua turun ke sungai. Dungak dan Tambi Jongkong yang mengawasi kepergian Nyai Endas merasa kaget. Mereka hampir tak percaya pada penglihatannya sendiri. 

Kedua orang asing itu berjalan di atas air seperti di jalan daratan saja. Menyaksikan peristiwa itu. Mereka ikut turun ke sungai untuk melihat ke mana Nyai Endas dibawa. Akhirnya, sesampai di Batu Tungadau, keduanya lenyap. Tanpa menghiraukan Tambi Jongkong, Dungak bergegas lari ke betang. Diambilnya gong
lalu dibunyikannya berkali-kali. 

Penduduk yang sedang bekerja di ladang mendengar bunyi gong itu segera berlari pulang ke kampung. Pasti ada kejadian luar biasa. Penduduk kampung gempar setelah diberitahu Dungak bahwa Nyai Endas diculik laki-laki tak dikenal. Mereka ngeri kalau Mangkikit mengamuk karena kejadian itu. Semua wanita dengan anak-anak dengan diam-diam meninggalkan kampung itu. Mereka takut kalau-kalau nanti Mangkikit mengamuk membabi buta. Yang tinggal sekarang hanya para laki-laki dewasa. 

Tambi Jongkong masih menagis sesenggukan dan pasrah pada nasibnya. Demikian pula halnya dengan Dungak yang sejak tadi banyak diam, mereka masih belum tahu apa yang harus dikatakan kepada Mangkikit jika tuannya itu datang. Sementara itu, Mangkikit dalam perjalanan pulang. Ia mendapat firasat, sesuatu yang luar biasa terjadi di kampungnya. Ia cepat-cepat pulang. Jalannya dipercepat setengah berlari. 

Setibanya di belakang rumah betang, ia melihat banyak orang bergerombol. Apa gerangan yang terjadi; tanyanya dalam hati. Dengan napas terengah-engah, ia naik ke betang seraya bertanya, ”Apa yang telah terjadi?” 

Tak seorang pun yang berani menjawab. Karena tidak ada yang menjawab, Mangkikit menjadi marah. Dungak juga tidak berani mengatakan yang sebenarnya mengenai Nyai Endas sewaktu ditanya. Menyaksikan keadaan seperti itu, seorang laki-laki tua tampil seraya berkata dengan suara lembut. ”Mangkikit anakku ..., coba tenang sedikit. Hati dan pikiran kita harus jernih,” katanya. ”Apa yang sebenarnya terjadi, Paman?” tanya Mangkikit kepada orang tua itu. Orang tua itu pun menceritakan seluruh kejadian itu tanpa satu pun yang tertinggal. 

Mendengar penjelasan pamannya, Mangkikit menghela napas panjang.Penduduk kampung ikut merasa lega dan bersyukur karena Mangkikit mampu mengendalikan emosinya. Mangkikit hanya meminta para kepala keluarga untuk datang ke rumahnya nanti malam. Di sana ia akan memberitahukan rencana selanjutnya. 

Malam itu, kembali mereka berkumpul. Mangkikit meminta agar setiap keluarga menyiapkan tuak. Pada hari kesembilan setelah hari itu, mereka akan berkumpul lagi. Mangkikit tidak menjelaskan maksudnya. Ia hanya berpesan agar mereka menyiapkan keperluan pesta. Waktu yang ditetapkan itu pun tiba. Mangkikit memerintahkan agar pesta dimulai dari rumah yang paling ujung bagian hulu. Sepuluh hari kemudian, tibalah giliran terakhir di rumah betang Mangkikit. Sebelumnya Mangkikit berpesan agar hari terakhir itu semuanya hadir. Sejak pagi mereka makan dan minum sepuas-puasnya. Setelah semuanya selesai, Mangkikit memerintahkan semua orang berkumpul di pinggir tepian mandi sungai. 

Setelah semuanya lengkap, Mangkikit memerintahkan semua kepala keluarga membakar rumahnya. Tidak seorang pun membantah perintahnya. Namun ada seorang tua yang tetap penasaran, mengapa Mangkikit memerintahkan hal yang nampaknya sangat merugikan itu. 

”Anakku ..... jelaskan kepada kami, agar kami tidak penasaran. Apa maksud semua ini?” 
”Paman .... kampung kita sudah diinjak-ijak orang. Kita harus melupakannya dan mencari tempat yang baru.” Api terus berkobar, dalam tempo yang tidak begitu lama semua rumah di kampung itu telah terbakar. 

Setelah semua berkumpul, Mangkikit berkata, ”sekarang turunlah ke sungai, berjalanlah dengan tenang menuju Batu Tungadau.” Setelah itu, Mangkikit menabur beras kuning ke pusaran air Batu Tungadau. 
Ia menunjuk salah seorang untuk terjun ke pusaran air itu terlebih dahulu. Jika mereka masih hidup agar dalam dunia yang baru itu saling menunggu, 

Sesudah semua penduduk kampung terjun Mangkikit pun menyusul. Di sana ia melihat sebuah kampung yang masih bersih dan rapi. Ia mengisyaratkan agar mereka menunggu dengan tenang. Dengan didampingi tiga orang laki-laki pilihannya, ia memasuki kampung itu. Tidak kelihatan seorang pun penghuni di sana. 

Tidak jauh dari situ, di halaman sebuah rumah besar dan bagus, tampak Nyai Endas. Atas perintah Mangkikit, mereka berpencar mengepung rumah itu. Setelah dekat benar, Mangkikit memberi syarat kepada Nyai Endas. Istrinya mengatakan bahwa laki-laki yang menculiknya masih tidur di kamar. Mangkikit mengikuti strinya masuk. Ia adalah seorang kesatria yang pemberani. Pantang baginya membunuh musuh secara curang. Secepat kilat, Mangkikit mencabut dohong yang terselip di pinggangnya, lalu berteriak keras membangunkan lelaki itu. Lelaki itu kaget dan segera melompat bangun. Terjadilah pertarungan seru. Keduanya sama-sama memegang mandau. Namun akhirnya Mangkikit dapat mengalahkannya, dibunuhnya laki-laki itu. Ketiga pengawalnya disuruh menjemput keluarganya yang menunggu di luar kampung itu. 

Dari keterangan Nyai Endas, mereka mengetahui kampung itu adalah tempat tinggal bangsa ikan Tungadau. Siang hari, mereka semua pergi mencari makan. Itulah sebabnya tak ada orang yang mereka temui pada siang hari. Sore hari mereka baru pulang. Akhirnya, Mangkikit menjadi raja di sana dan hidup dengan damai, aman, dan tentram.
 
Copyright © 2013 DAYAK NEWS
Design by FBTemplates | BTT